16 Feb 2015

Cerbung : "Diary Bersayap" - Part 4 : End - By Irfanmuse

Cerpen Part 4
Judul : Diary Bersayap : Terungkap
Karya : Irfan Mustofa



Setelah merampungkan jurnal penelitian aku. Sekarang harus optimis skripsi ini pasti akan diterima. Aku masih memegang Skripsi setebal 167 halaman dengan tangan dingin dan berkeringat. Gema jantungku berdebar masih terasa di lorong senyap di Kampus, di depan ruang sidang menunggu giliran untuk menghadapi para dekan dan profesionalis bertitel Profesor dan Doktor yang siap menguji dan menerima presentasiku.

Sidang ini akan sangat menentukan kelulusanku sebagai Sarjana Orthopedist dan Traumanologi (S.OT), tak lain adalah sebagai Dokter Spesialis Tulang. Impian yang sudah sekian lama aku idamkan. Tujuh tahun menempuh perkuliahan, praktek lapangan, dan penelitian hingga berbulan-bulan lamanya. Dari Skripsi inilah penentuan, oleh karena itu aku sangat serius menggarapnya.

“klung.. klung... “ suara dari piranti chating di smartphoneku.

“Hoi Pak Dokter !! Semangat sayang sidangnya, kamu pasti bisa. Pulang sidang temui aku di rumah sakit ya.”

Pesan dari Aila, ditutup dengan emotikon imut memberikan semangat bergerak-gerak dengan lucu. Aku tersenyum membacanya seperti diberikan suntikan serum semangat. Aila paling bisa membuatku tersenyum dan tetap kuat.

“Danu Prayoga Wicaksana !” namaku dipanggil.

Kutarik napas dalam-dalam untuk mengumpulkan kekuatan dan mengepalkan tangan. “Bismillah !”

Lima menit pertama aku masih diselimuti nervous, tapi sepanjang presentasi berjalan aku mulai percaya diri. Karena melihat ekspresi para penguji mulai cerah menanggapi skripsi ini.

“Jadi, dengan metode terapi dan alat yang anda ciptakan, bisa mempercepat pemulihan kondisi fisik seorang pasien yang menderita fraktur dalam cukup lama. Bahkan bertahun-tahun? Bisa dibuktikan?” tanya salah seorang penguji yang tak lain adalah seorang Dokter Profesional dari salah satu rumah sakit besar di kota Bandung.

“Perkenankan saya tunjukan rekam medis pasien-pasien yang saya teliti, pasien A dari minggu-ke minggu pasien ini mengalami perubahan bentuk fisik menuju normal dibadingkan keadaan pasien B, yang sudah sekian kali mengikuti terapis dan operasi tulang. Namun lain halnya dengan pasien yang melakukan metode terapi pengobatan dengan alat bantu yang saya buat, proses pemulihan pasien ini lebih cepat.” Aku tunjukan grapik perbandingan dan rekam medis pasien yang saya teliti. Saat saya melakukan kerja praktek dan penelitian di rumah sakit besar di kota Bandung.

Para penguji menganggukan kepala, dan nampak antusias, sesekali mereka berdiskusi. seorang Dokter Besar yang menjadi penguji juga menunjukan wajah yang menyenangkan.

“Danu Prayoga Wicaksana, setelah kami menimbang, dan mengkaji skripsi anda, kami memutuskan bahwa anda Lulus dan berhak memperoleh titel Sarjana. Dengar Danu metode terapi dan alat yang kamu temukan bisa menjadi revolusi untuk pengobatan pemulihan penderita kelainan tulang saat ini.” Terang salah seorang dekan.

“Benarkah pak?” tanyaku sumringah, hatiku meledak luar biasa, namun masih kusembunyikan rasa bahagia ini dengan senyum yang lebar penuh bangga.

“Benar, jika Danu berkenan saya memohon izin untuk melakukan riset dan pengembangan lanjut atas temuanmu ini. Penelitian kamu bisa menolong orang lain.” Tambah Dokter tersebut.

Aku mendapatkan tiket wisuda, dan surat keterangan kelulusan sementara. Selepas dari ruangan tersebut sudah tidak bisa kubendung lagi rasa bahagia di dada. Namun tak bisa lama-lama menikmati kebahagiaan ini, aku harus membaginya dengan mereka, segera aku meluncur ke kerumah sakit menggunakan taksi.

Sepanjang jalan kenangan itu melayang lagi menuju citra seorang Kandis, dia yang menginspirasi dalam kesuksesan penelitian ini. Dialah orang dibalik semuanya, sungguh aku sangat berterima kasih padanya. Aku ingat perjuangan saat itu bagaimana keluarga, dan sahabat termasuk Aila sangat mendukung tindakan aku ini.

Malam itu, Mang Agus membawa mobil pick up bapak sampai ke rumah Kandis, kami membawa Kandis dan Ibunya ke rumah. Aku menjelaskan semuanya pada bapak, beliau mungkin nampak kebingungan dengan tindakanku, namun kehadiran Ibuku menlancarkan segalanya, atas dasar kemanusiaan kami harus saling menolong sesama. Keluargaku yang cukup berada bersedia membiayai pengobatan untuk Kandis.

Kandis yang selama ini terasing bertahun-tahun karena penderitaannya. Membuatku berinisiatif untuk menulis kisahnya pada sebuah artikel dan kukirim ke surat kabar, setelah Kandis masuk ke ruang publik akhirnya banyak dermawan terketuk hatinya sanggup membantuku membiayai pengobatan dan perawatan Kandis sampai sembuh total. Yaitu bisa sehat, dan hidup normal selayaknya anak Gadis seusianya. Akhirnya berbagai tindakan medis bisa dilakukan untuk pemulihan.

Disamping itu semua, Kandis mengilhamiku untuk melakukan riset mendalam mengenai perkembangan kesembuhannya, aku mencari cara dan menciptakan suatu metode terapi dan alat yang berguna untuk menolong orang-orang yang bernasib sama seperti Kandis. Bukan maksud menjadikannya sebagai kelinci percobaan, namun aku sekuat tenaga melakukan berbagai upaya bersama tim medis yang menangani Kandis. Agar dia benar-benar bisa hidup normal dengan keadaan fisik sama seperti kami.

Terapi pengobatan untuk Kandis berlangsung selama bertahun-tahun, begitu juga penelitianku. Aila yang bercita-cita menjadi ahli farmasi turut andil besar dengan melakukan riset serupa dengan menemukan pengobatan tepat untuk membantu kesembuhan Kandis, pastinya di bawah pengawasan orang-orang profesional. Kami berjuang begitu keras untuk Kandis. Semuanya semata demi mengembalikan kebahagian dia yang selama bertahun-tahun tidak miliki. Bayangkan saja, Kandis harus kehilangan masa kanak-kanak bahkan remajanya karena penderitaan yang dialami.

Setelah memperoleh informasi dari Kandis, dia memang Korban Tabrak lari yang dilakukan oleh kendaraan Dinas setempat, Yah, sudah diusut oleh pihak berwajib pelakunya adalah salah satu pejabat setempat yang tidak mau bertanggung jawab. Dia mengancam keluarga korban, agar tidak melaporkan tindakannya karena saat itu tersangka menempati posisi penting. Orangtua Kandis tidak memiliki dasar pendidikan yang baik dengan keadaan ekonomi pas-pasan, mereka tidak memilki keberanian yang besar.

Terlebih setelah Ayah Kandis meninggal satu tahun berikutnya, membuat Ibunya dengan mudah di Intimidasi dan selalu dalam bayang ketakutan bertahun-tahun. Sehingga Kandis dibiarkan terus lumpuh agar tidak bisa membocorkan informasi. Sungguh sangat menyedihkan penderitaan yang harus Kandis alami. Aku tidak bisa membayangkan. Berjalan waktu semuanya akhirnya terungkap, kejahatan dan ketakutan yang melingkupi keluarga Kandis sirna.

***

“Pak, Pak berhenti disini.” Pintaku pada supir taksi yang mengantar ke rumah sakit besar di Bandung.

“Ini Pak, uangnya.” Aku berikan ongkos taksi tersebut.

“Iya, terima kasih De, selamat ya, semoga cepat sembuh kerabatnya.” Ucap supir itu ramah, karena sepanjang jalan aku menceritakan semua padanya. Sopir ramah dan komunikatif sangat jarang di temukan di kota Bandung, namun lain dengan yang satu ini.

Membuatku tak sungkan membagi kebahagian hari ini pada beliau. Sengaja aku berhenti disini, karena ingin membelikan jeruk yang biasa dijual di sepanjang jalan sekitar rumah sakit.

Aku menyusuri lorong rumah sakit, ada apa dengan hari ini? aku perhatikan sekeliling begitu diliputi rasa senang dan hangat, berbeda dengan kesan rumah sakit yang identik dengan seram, angker dan kepanikan.

Melihat Suster dengan senang hati mendorong roda pasiennya. Petugas administrasi melayani orang-orang dengan senyuman. Security sigap membantu orang bertanya ruangan dengan sopan santun. Bahkan, aku melihat seorang OB nampak mengepel lantai dengan handsfree di telinga menikmati irama musik yang didengarnya. Ini sudah menjadi pertanda, bahwa lingkungan berkonspirasi menciptakan suasana kebagahiaan yang telah lama pergi.

Tibalah aku di ruangan perawatan Kandis. Letaknya di Lantai 4. Saat aku buka pintu.

“Hah ? Dimana Kandis? Apa sudah pindah ruangan. Tapi Aila sama sekali tidak memberitahuku.” Aku hanya melihat ruangan tersebut nampak rapi, dengan selimut terlipat dan tanpa ada alat inpus menggantung di sana. Aku ambil ponsel, menghubungi Aila.

“Yang, kamu dimana ? Kok Kandis tidak ada di ruangannya?”

“Hehe, aku lupa memberitahu, Kandis sudah di izinkan pulang Dokter.”

“Ah, kamu ini kebiasaan, aku sempat panik tadi.”

“Kalem pak Dokter, Kami lagi di taman kok.” Terang Aila. Langsung menengok ke Jendela, melihat taman di bawah. Ruangan ini menghadap tepat ke taman rumah sakit. Terlihat Aila melambaikan tangan. Langsung aja aku tutup Ponsel, dan berlari ke bawah.

Menyusuri Lorong menuju taman yang sisi kiri-kanannya dipenuhi tanaman rambat. Ditengah-tengah lorong Aila sedang berjalan mendorong kursi roda Kandis. Keduanya nampak tersenyum saat melihatku berlari menghampiri mereka.

Penyangga tulang leher yang dipakai Kandis nampak sudah dilepas, dia sekarang sudah bisa menatap tegak, hanya tinggal alat bantu yang dipasang pada punggung agar tulang belakang tetap tegap, rambut panjang lurus dia sisir rapi kebelakang telinga, memamerkan anting-antingnya berkilau. Wajahnya sudah tidak terlihat pucat, hanya rona pink segar dipipi membuat ia terlihat cantik dari biasanya.

Kami menyayanginya seperti pada adik kami sendiri.


Aku membungkukan badan untuk bertanya padanya.

“Bagaimana keadaan ...”

Tiba-tiba Kandis bangkit dari kursi rodanya dan memeluk tubuhku, dia bisa berdiri, iyah berdiri. Oh, aku tak kuasa membendung air mata suka cita ini. Kandis mengucapkan sebuah kata pelan di telinga, seperti bisikan lembut malaikat, kata itu yaitu “Terima Kasih”. Tanganku pun melingkar ke punggung Kandis. Aila juga menitikan air mata melihat momen bahagia ini.

***

Kami berjalan bertiga, meninggalkan Rumah Sakit itu. Aila bertanya bagaimana dengan Sidang Skripsiku.

“Minggu depan aku di wisuda, Yang”

“Ohh, bagus, Selamat !!! Aku senang banget.” Jawab Aila girang.

“Nah, lalu bagaimana Apotek kamu ?”

“Alhamdulilah lancar, kemarin kami baru saja syukuran 7 bulan berdirinya Apotek.”

“Kayak ibu hamil saja nujuh bulanan. Hahaha ”

Aila memang setahun lebih awal kelulusannya daripada aku, karena pengetahuan farmasi dan penemuan obat-obatannya, seketika lulus langsung direkrut kerja di salah satu laboraturium obat herbal di Yogyakarta.

Setahun bekerja dia sudah bisa membangun Apotek sendiri. Pengenyam pendidikan kedokteran memang terbilang lama, namun itu semua di perlukan demi profesionalisme seorang Dokter. Kandis hanya tersenyum menyimak obrolan kami.

***

Dua Tahun berlalu. Kandis sukses menjadi seorang penulis novel, karya-karyanya selalu diminati masyarakat, sampai menjadi bestseller. Meskipun tuna wicara, itu tidak mengganggunya. Saat mulut sulit berkata jujur, namun hati selalu berbicara dengan tulus. Begitulah cara dia menuangkan setiap karya tulis, menulis dengan hati. Sekarang Dia memilih tinggal bersama ibunya.
Aku duduk di beranda sambil memberi makan merpati-merpati. Seperti biasa menikmati senja di Desa. Sambil membaca surat tulisan Kandis.

Terima Kasih, Kang Danu dan Keluarga, atas semuanya, Kandis tulis ‘semuanya’ karena aku sendiri tidak bisa menghitung banyaknya kebaikan yang sudah keluarga dan Kang Danu lalukan. Kandis tidak mau merepotkan lagi, kini bersama Ibu, Kami tinggal di Flat sederhana di Kota Bandung.
Entah bagaimana Kandis bisa membalas kebaikan kalian. Mungkin dengan sebuah novel ini, bukan hanya aku, namun semua orang yang membacanya akan sangat berterima kasih pada Kalian yang sudah membantu mengembalikan Kebahagianku. Semoga Allah membalas setiap jengkal kebaikan yang Kang Danu, Keluarga dan Orang-orang yang telah menolongku lakukan.
Oh iya, satu lagi, selamat menempuh hidup baru yang bahagia dengan Teh Aila, kalian berdua memang pasangan yang di ridhoi Tuhan. Sakinah, Mawadah, Warohmah. Salam buat Teh Aila yang cantik. ^^

Salam Sayang.

Kandis Kanditasari


Kemudian aku membuka paket yang dikirim Kandis, sebuah Novel berjudul “Terima Kasih, Danu” aku tersenyum melihatnya. Di halaman pertama novel itu tertulis “Special Dedicated for Special Persons – Danu, dan Semua”.

Dari sinopsis cerita novel ini mengisahkan  seorang pria yang berjuang menolong wanita yang kehilangan kebahagiannya, lewat sebuah skenario epic yang di tulis Tuhan, pria itu hanya mengikuti keyakinan kata hatinya.

Lalu saat, membuka lembaran demi lembar novel tersebut. Sebuah postcard jatuh, di atasnya ada tulisan tangan Kandis

“Kang Danu, ini ada salah satu postcard dari pembaca setia Kandis, katanya dia kenal Kang Danu”

Aku baca isi postcard tersebut, “Novel yang bagus Kandis, Salam yaa buat Danu. Aku kenal Danu karena dia  pernah modus mimpiin aku, hahaha – Karisa.” Aku kaget membacanya, oh iya. Apa kabarnya Risa?

-------------------------
Tamat.

0 komentar:

Posting Komentar

"aku sangat senang bila anda dapat meninggalkan komentar disini"