22 Feb 2015

CERPEN: “Sebingkai Dengan Papa” by IrfanMuse [NEW VERSION]


Kategori : CERPEN
Judul : Sebingkai dengan Papa [REVISED]
Tema : Keluarga, Moral, dan Budaya.
Karya : Irfan Mustofa
------------------------------------------------------------

“ Sebingkai Dengan Papa ”

Irama Yaasin membuat suasana rumah begitu hangat. Lantunannya seolah terasa mendamaikan, persis ketika pertama kali syukuran rumah. Saat itu aku masih duduk di sampingnya, membaca setiap ayat, memotong tumpeng, santap ria dalam balutan syukur. Prestasi pertamaku merubah wajah rumah papa menjadi baru. Lewat hasil keringat sendiri.

Di hari ke empat puluh kepergiiannya, lantunan Yaasin itu tak lagi sama. Bukan karena kalam itu tiada indah, melainkan saat Sang Ilahi rindu pada hambanya. Irama tersebut terasa begitu memilukan. Menggugah kesedihan lama akan Ia.

Sekarang, di ruang tamu ini kupandang sebingkai foto keluarga dengan pakaian senada. Terpancar senyum aura kebahagiaan dari potret itu. Sesal tiada kira, citra beliau hanya abadi dalam binkai.

“Maaf, cinta fana Evan, menutup cinta kebersamaan yang lama papa idamkan ....”

Bagaimana cinta fana itu terjadi? semua berawal dari sini. Setelah menyelesaikan Studi Strata satu di salah satu Universitas di Kota Bandung. Aku langsung gencar mencari pekerjaan. Pegawai bertitel Sarjana Teknik begitu banyak dicari terutama di kota besar. Papa bilang “jangan tanggung-tanggung untuk melamar pekerjaan jika minatku sebagai pegawai kantoran melamarlah di perusahaan besar, kuturuti saran papa.

Bersyukur usaha menggapai IP Tinggi di Kampus tidak sia-sia terutama suport dari papa yang tak pernah habisnya. Sehingga tidak makan waktu lama aku menunggu panggilan kerja, hingga pada akhirnya diterima di sebuah perusahaan Pengembang Teknologi Informasi terkemuka di Jakarta.

Aku sangat menikmati pekerjaan sekarang di Jakarta. Meskipun jauh dari keluarga, tapi orang tua begitu mendukung penuh untuk mewujudkan impianku. Hidup menjadi Pria Mandiri, seperti didikan Papa. Karena kecintaan pada bidang kerja yang digeluti, sering kali aku dijuluki seorang Workaholic. Mungkin semangat kerja keras ini sudah warisan dan mendarah daging dari Papa. Iyah, seperti kerja kerasnya, membanting tulang sebagai guru SMP, dan membuka Tailor kecil dirumah sebagai sampingan. Hanya untuk membiayai pendidikan aku dan kedua adik saat itu.

Ini  tahun ke tujuh loyalitasku bekerja di perusahaan tersebut. Kecintaan terhadap perkerjaan yang mungkin dianggap papa berlebihan, membuatku jarang pulang menemui keluarga. Hanya ketika hari raya saja dan itu sangat papa sayangkan. Mau bagaimana lagi? aku bukan sekedar cinta tapi hanya ini yang bisa dilakukan untuk membalas budi, dan bentuk bakti terhadap mereka. Semenjak Papa pensiun, kini akulah yang membiayai sekolah kedua adik, diantaranya masih duduk di kelas 3 SMA dan 2 SMP. Mencari nafkah, seraya mengirimi kebutuhan untuk papa dan mama juga.

“Terima Kasih, kak. Uang sekolahku, dan Dafa sudah sampai,” ucap adik perempuanku di telpon.

“Ok, Ann, langsung nanti kamu bayarkan, buat sekolah ya!”

“Iya Siap, Kak! Kak Evan gimana kabarnya? Kapan pulang?”

“Kakak sehat-sehat saja, pulang? hemm kakak pikir tidak untuk waktu dekat ini, Ann. ”

“Ah, Kak Evan selalu gitu! Sibuk mulu! masa cuma lebaran doang bisa pulang ke Bandungnya,” ucap Andita terdengar kecewa.

“Mau, bagaimana lagi, pekerjaan kakak itu banyak, minggu ini juga akan keluar kota,” kataku memberi alasan.

“Yah, selalu begitu alasannya, itu Papa udah kangen sama kakak.”

“Oh, Iya, kabar Papa? Kakak mau ngomong dong.”

“Baik, tunggu bentar ka ...” suara telpon menghilang sementara, “Paah ... ini Kak Evan mau bicara!” samar terdengar olehku, perkataan Andita saat memberikan telpon pada Papa.

“Halo, Assalamualaikum ...” terdengar suara berat khas pria paruh baya.

“Walikumsalam, Pa? ini Evan, gimana kabarnya?” tanyaku santun.

“Alhamdulilah, Nak. Kamu gimana? Sehat Van?” tanya papa terdengar senang mendengar suaraku.

“Sehat-sehat saja Pa, Papa lagi apa?”

“Ini, biasa, lagi jahit pakaian pesanan tetangga.”

“Papa, masih ngejahit? buat apa Pa? Apa masih belum cukup kiriman Evan, Pa?” tanyaku begitu heran, pada papa yang sudah cukup renta, tapi masih saja gemar menjahit.

“Cukup, Alhamdulilah, bukan begitu juga, Van, Papa hanya tidak biasa jika hanya diam, Menjahit sudah hobi papa,” sekarang tahu darimana darah workaholic itu.

“Iya, Pa. Jangan sampai jahit larut malam terus ya, Pa? Jaga kesehatan.” Tegurku, teringat kembali saat itu, papa selalu saja menjahit banyak pesanan tidak mengenal waktu, mengejar upah untuk biaya kuliahku. Dan mama turut menemani dan membantunya.

“Eh, Pa, gimana kabar Mama?” tiba-tiba pikiranku terbesit untuk bertanya keadaan Mama.

“Iya, Van. Mamamu sehat juga, dia lagi mandangin Papa, nih, nerima telpon dari kamu, Nak.”

“Kalau begitu, Evan pengen bicara sama Mama dong, Pa.”

“Yah, Papa masih kangen dengar suara kamu, Nak.”

“Iya, di Loudspeaker saja, Pa. Minta bantuan Andita,” Saranku pada Papa, pasti beliau tidak tahu caranya.

“Papa, ingin kamu pulang, Van. Kapan kita bisa photo keluarga, mumpung Dafa, Andita sudah besar. Selagi Papa, Mama masih ada.”

“Papa, Mama akan sehat saja kok, jangan bicara sembarangan, nanti jika Evan pulang, kita Photo Keluarga!”

“Iya, Gatau nak, Papa ingin ruang tamu kita itu di hiasi Photo Keluarga kita.”

Dreeeddd ... Dreedddd ... Handphoneku bergetar, tanda panggilan lain masuk. Saat  dilihat ternyata dari Boss. Aku harus segera mengangkatnya mungkin ada hal penting.

“Maaf, Pa! Boss Evan, nelpon. Lain kali Evan telpon lagi ya ... ” aku langsung pamit memutuskan panggilan. Setelah menerima panggilan dari Bossku, ternyata tanggal proyek keluar kota itu dimajukan. Aku segera bersiap untuk pergi keluar Kota, seraya memesan tiket pesawat tujuan Makassar. Karena besok pagi harus sudah berangkat.

Hampir tiga minggu ada di Makassar. Menyelesaikan proyek pengembangan jaringan internet dan telekomunikasi di suatu perusahaan di sana. Aku paling tidak suka jika pekerjaan ini, mengalami gangguan atau hambatan. Sudah menjadi etos jika handphone harus mati saat bekerja.

Tapi Andita, tidak pernah mengerti dia terus saja mengirimi SMS. Saat aku baca isi pesannya selalu sama, “Papa ingin kita segera Photo Keluarga!”

Pikirku, hal seperti itukan bisa nanti, cuma photo keluarga itu gampang dilakukan lain kali. Tapi jika pekerjaan ini tidak selesai, bisa gawat, dan tidak bisa dilakukan nanti, karena target waktu selesainya begitu mepet. Jika tidak selesai, bisa mati aku. Apalagi posisiku sudah sangat nyaman di sana.

“Kak, Papa mau, kakak pulang minggu ini, sempatkan sebentar saja, untuk Photo Keluarga kita.”

Begitu pesan, yang aku baca. Saat malam di hotel, kubalas SMS tersebut supaya, Andita tidak terus-menerus mengirimi SMS, yang  mengganggu itu.

“Ann, bisa tidak, jangan sms kaka terus, kaka lagi di Makassar, iya. ntar deh, minggu depan kakak pulang.”

Selang beberapa menit, tiba-tiba telpon masuk.

“Halo, Bener Van, minggu ini kamu pulang ?” ternyata telpon dari papa.

“Iya, Pa, Iya ....”

“Papa, ingin segera photo keluarga, nanti bakal papa taruh di bingkai yang besar.”

“Duh, Papa kayak anak kecil, iya Pa, nanti Evan pulang, jika pekerjaan di sini sudah selesai.”

Setelah perbincangan itu, entah kenapa papa begitu ingin sekali Photo Keluarga, memang sih, sejak dahulu kami belum sempat photo keluarga karena Dafa dan Andita saat itu masih kecil, dan itu sudah menjadi idaman papa sejak lama. Semenjak, Rumah direnovasi lebih baik, Papa semakin ngebet ingin menghiasi ruang tamunya dengan Sebingkai photo keluarga yang besar dan indah.

Satu minggu berlalu, pekerjaan kami tidak kunjung selesai juga, karena ada masalah dan hambatan akibat keteledoran rekan kerja, sehingga aku tidak bisa menepati janji Papa, untuk pulang. Mungkin harus mengabari mereka. Akan terdengar kecewa tapi apa boleh buat. Pasti tidak akan diizinkan pulang, karena disiplin kerja perusahaan tempat kerjaku begitu ketat.

Baru saja, aku memegang telpon hendak mau menelpon papa, tiba-tiba ada panggilan masuk dari adik.

“Kak! Kak Evan!” teriknya di balik telpon.

“Iya, kenapa? nelpon itu ucap salam kek, bukannya teriak-teriak begitu.”

“Kak! Papa masuk rumah sakit !”

“Hah! Serius? Ah, jangan main-main kamu! Kakak gakan terpengaruh sama candaan kamu,” Entah apa yang aku pikirkan, aku malah merasa jika adiku melakukan keisengan konyol agar aku cepat pulang.

“Gila, kamu Kak! mana mungkin Andita bercanda, Papa benar-benar lagi sakit!”

“Yang benar? Sakit apa?” aku merasa ragu tapi cukup terkejut.

“Jika kakak, gak percaya ini, bicara sendiri sama Mama.”

Beberapa saat kemudian aku malah mendengar suara tersedu-sedu “Ma? Kok nangis? Papa kenapa?”

“Papamu ... dilarikan ke rumah sakit, kolesterolnya tinggi dia terkena serangan jantung.”

“Apa! Serangan Jantung?” saat aku mendengar keterangan mama dengan suara terisak, aku bengong seketika. Tidak ada lagi yang ingin aku pikirkan selain, harus pulang saat itu juga.

“Yang sabar Ma, Evan, bakal pulang pagi ini juga.” Aku langsung membuka Laptop untuk memesan tiket pesawat online, yang bisa terbang besok pagi dari Makassar ke Bandung.

Siang itu akhirnya aku sampai di Bandung, meskipun harus mendapatkan SP 1 karena meninggalkan pekerjaan, tidak peduli. Yang aku mau, hanya ingin melihat keadaan papa, hati masih berat karena masih ada satu pinta papa yang belum terpenuhi.

Di Rumah Sakit Hasan Sadikin, saat masuk ke ruangan tempat papa dirawat, kulihat Mama duduk sambil dirangkul Andita menguatkannya, kemudian Dafa, adikku menengok padaku.

“Kak, Evan!” kata Dafa, saat melihatku di depan pintu. Mama menengok kemudian memeluk. Beliau mencerikan kejadian malam itu, saat tiba-tiba dada papa sakit dan sesak nafas hingga tidak sadarkan diri.

Aku mencoba menenangkan Mama, kami berkumpul di ruang inap papa, menemaninya, menunggu matanya terbuka. Disamping papa aku berkomunikasi dengannya, yang kutahu orang dalam keadaan koma itu sebenarnya bisa mendengar apapun di sekelilingnya.

“Pa, ini Evan, aku sudah pulang, sekarang ada disini. Papa cepat bangun ....”  ucapku melirih sedih pada telinganya sambil memegang tangannya.

“Maafkan aku Pa, karena jarang sekali kita bertemu, Evan sangat menyesal bertemu Papa dalam keadaan seperti ini.”

Aku terus berbicara dengan Papa agar matanya bisa terbuka, iba melihat keadaan Papa dengan berbagai alat yang menempel pada badannya.

“Pa, ada satu hal yang ingin Evan, katakan, nih, loh Pa, Evan sudah menemukan wanita yang ingin Evan persunting, ini potonya Pa!” Meskipun Papa tidak melihat, aku berikan poto seorang wanita yang menjadi kekasihku selama ini, dia adalah Partner kerjaku.

Aku berikan pada tangan Papa, agar dia bisa memegangnya. Sekali lagi, tidak ada respon dari apa sedikit pun. Kami hanya menunggu dengan keadaan cemas, sedih, dengan mulut terus memanjatkan doa.

Beberapa jam kemudian, saat tertidur di sampingnya. Aku merasakan gerakan pada jari-jemari papa.

“Van? Evaan ....” terdengar suara yang begitu pelan dari apa. Saat bangun, melihat papa sudah membuka mata dengan tatapan kearahku.

“Pa! Papa sudah siuman, Ma! Papa sudah bangun, Ma!” aku membangunkan mama, yang ikut tertidur di kursi dalam ruang inap itu. Aku begitu senang melihat mata papa terbuka, dengan senyum sedikit di wajahnya. Dalam keadaan seperti itu, ia masih mampu tersenyum menghibur kami.

“Akhirnya kamu pulang, Nak ....” kata papa sambil mengusap kepalaku. “Jadi ini, yang akan menjadi calon menantu Papa?” papa melihat sebuah poto yang kuberikan padanya. Aku begitu terharu karena bahagia melihat papa, bisa terbangun dan nampak senang.

“Maafkan aku, Pa, Evan baru bisa bertemu Papa, dalam keadaan seperti ini, Evan menyesal, Pa,” Aku tertunduk malu.

“Dengan bisa melihat putra sulungku ini saja Papa sudah senang, maafkan papa juga ya, jika selama ini Papa banyak salah.”

Kemudian, dokter dan suster datang memeriksa keadaan papa. Dokter mengatakan keadaan Papa sudah stabil, hanya saja jantungnya masih lemah setelah melakukan Operasi. Papa harus beristirahat kembali.

“Papa, tidur lagi yaa ....” ucap papa pelan.

“Iya, Pa, Istirahatlah.”

Setelah beberapa jam papa tertidur, sekitar pukul  satu malam, aku dikejutkan dengan suara yang panjang dari sebuah alat yang entah apa, alat yang menunjukan gambar gelombang detak jantung. Kini terdengar “biiipp” begitu panjang dan lama, saat aku lihat pada monitor alat itu hanya menunjukan satu garis lurus yang panjang.

“Apa yang terjadi? Papa?” aku pegang tangannya begitu dingin, dan wajahnya pucat. Aku, mama, dan kedua adikku begitu panik, entah apa yang terjadi pada papa. Setelah, Dokter datang dan memeriksa keadaannya, kami diminta menunggu diluar, dari balik kaca pintu aku hanya melihat papa terguncang-guncang, karena dadanya terus dihantam oleh alat pemicu jantung, untuk mengembalikan detang jatungnya.

Tapi, Tuhan berkehendak lain, detak jantungnya sudah tidak pernah kembali, papa sekarang tertidur selamanya. Kami telah kehilangannya.

Itulah kisah pilu penuh sesal yang aku ingat, 40 hari setelah papa meninggal. Yang selalu kuingat setiap melihat Sebingkai Poto Keluarga yang terpampang di Ruang Tamu kami. Hanya ini satu pinta papa yang belum aku penuhi, Photo Keluarga. Sepele memang, saat aku mencoba berbakti dengan memberikan semua kebutuhan papa dan keluarga, tapi mengapa tidak bisa menyempatkan hanya untuk “Sebingkai Dengannya”. Aku begitu menyesal, sangat dalam. Baru mengerti sekarang mengapa papa begitu ingin berphoto keluarga, bukan sekedar menghiasi ruangan ini, seperti yang kupikirkan saat itu.

Setelah tahlilah ke empat puluh. Aku duduk memandangi sebingkai poto besar menggantung menghiasi ruang tamu. Meskipun poto keluarga ini, hanya editan di mana citra papa ditempelkan di sana. Aku, mama, dan kedua adik memakai pakaian senada yang dijahit khusus oleh papa.

Betapa tersirat sebuah kebersamaan dan kebahagiaan terbingkai satu. Ini mungkin yang papa inginkan “dengan selalu melihat Photo ini ia bisa merasakan kebersamaan yang langka, disaat-saat terakhirnya.” Papa tahu aku jarang pulang, terlalu sibuk bekerja. Jika saja, aku sempat menuruti keinginannya. Beliau mungkin sempat memandangi bingkai itu setiap saat. Melihat seperti yang aku pandang sekarang.

Butir duka itu menetes setiap mengingat penyesalan yang kulakukan.

“Maaf Pa,”ucapku sekali lagi, “inikan yang papa mau? Sebingkai denganku ....”

“Sudahlah, Nak. Jangan selalu disesali, ini sudah jalan Ilahi,” Mama, datang menghampiri sambil mengecup rambut kepalaku.

Sekarang, tidak boleh aku terjatuh pada jurang sesal kedua kalinya. “Ma! apapun akan kulakukan untuk berbakti kepadamu, ladang surgaku!” kupeluk mama.

-------------------------------END-----------------------------
Untuk, berbakti kepada orang tua, bukan sekedar mencukupi kebutuhan mereka, lebih dari itu, bahagiakan mereka dengan kehadiran dan kebersamaan kita. Orang tua selalu ingin kebahagiaan kecil yang ingin mereka ulang, dan tak pernah ternilai oleh uang. Setiap waktu, setiap ruang.

Semangat berbagi kedua orang tua adalah kasih sayang, begitu juga bakti kita untuk membalasnya.

16 Feb 2015

Cerbung : "Diary Bersayap" - Part 4 : End - By Irfanmuse

Cerpen Part 4
Judul : Diary Bersayap : Terungkap
Karya : Irfan Mustofa



Setelah merampungkan jurnal penelitian aku. Sekarang harus optimis skripsi ini pasti akan diterima. Aku masih memegang Skripsi setebal 167 halaman dengan tangan dingin dan berkeringat. Gema jantungku berdebar masih terasa di lorong senyap di Kampus, di depan ruang sidang menunggu giliran untuk menghadapi para dekan dan profesionalis bertitel Profesor dan Doktor yang siap menguji dan menerima presentasiku.

Sidang ini akan sangat menentukan kelulusanku sebagai Sarjana Orthopedist dan Traumanologi (S.OT), tak lain adalah sebagai Dokter Spesialis Tulang. Impian yang sudah sekian lama aku idamkan. Tujuh tahun menempuh perkuliahan, praktek lapangan, dan penelitian hingga berbulan-bulan lamanya. Dari Skripsi inilah penentuan, oleh karena itu aku sangat serius menggarapnya.

“klung.. klung... “ suara dari piranti chating di smartphoneku.

“Hoi Pak Dokter !! Semangat sayang sidangnya, kamu pasti bisa. Pulang sidang temui aku di rumah sakit ya.”

Pesan dari Aila, ditutup dengan emotikon imut memberikan semangat bergerak-gerak dengan lucu. Aku tersenyum membacanya seperti diberikan suntikan serum semangat. Aila paling bisa membuatku tersenyum dan tetap kuat.

“Danu Prayoga Wicaksana !” namaku dipanggil.

Kutarik napas dalam-dalam untuk mengumpulkan kekuatan dan mengepalkan tangan. “Bismillah !”

Lima menit pertama aku masih diselimuti nervous, tapi sepanjang presentasi berjalan aku mulai percaya diri. Karena melihat ekspresi para penguji mulai cerah menanggapi skripsi ini.

“Jadi, dengan metode terapi dan alat yang anda ciptakan, bisa mempercepat pemulihan kondisi fisik seorang pasien yang menderita fraktur dalam cukup lama. Bahkan bertahun-tahun? Bisa dibuktikan?” tanya salah seorang penguji yang tak lain adalah seorang Dokter Profesional dari salah satu rumah sakit besar di kota Bandung.

“Perkenankan saya tunjukan rekam medis pasien-pasien yang saya teliti, pasien A dari minggu-ke minggu pasien ini mengalami perubahan bentuk fisik menuju normal dibadingkan keadaan pasien B, yang sudah sekian kali mengikuti terapis dan operasi tulang. Namun lain halnya dengan pasien yang melakukan metode terapi pengobatan dengan alat bantu yang saya buat, proses pemulihan pasien ini lebih cepat.” Aku tunjukan grapik perbandingan dan rekam medis pasien yang saya teliti. Saat saya melakukan kerja praktek dan penelitian di rumah sakit besar di kota Bandung.

Para penguji menganggukan kepala, dan nampak antusias, sesekali mereka berdiskusi. seorang Dokter Besar yang menjadi penguji juga menunjukan wajah yang menyenangkan.

“Danu Prayoga Wicaksana, setelah kami menimbang, dan mengkaji skripsi anda, kami memutuskan bahwa anda Lulus dan berhak memperoleh titel Sarjana. Dengar Danu metode terapi dan alat yang kamu temukan bisa menjadi revolusi untuk pengobatan pemulihan penderita kelainan tulang saat ini.” Terang salah seorang dekan.

“Benarkah pak?” tanyaku sumringah, hatiku meledak luar biasa, namun masih kusembunyikan rasa bahagia ini dengan senyum yang lebar penuh bangga.

“Benar, jika Danu berkenan saya memohon izin untuk melakukan riset dan pengembangan lanjut atas temuanmu ini. Penelitian kamu bisa menolong orang lain.” Tambah Dokter tersebut.

Aku mendapatkan tiket wisuda, dan surat keterangan kelulusan sementara. Selepas dari ruangan tersebut sudah tidak bisa kubendung lagi rasa bahagia di dada. Namun tak bisa lama-lama menikmati kebahagiaan ini, aku harus membaginya dengan mereka, segera aku meluncur ke kerumah sakit menggunakan taksi.

Sepanjang jalan kenangan itu melayang lagi menuju citra seorang Kandis, dia yang menginspirasi dalam kesuksesan penelitian ini. Dialah orang dibalik semuanya, sungguh aku sangat berterima kasih padanya. Aku ingat perjuangan saat itu bagaimana keluarga, dan sahabat termasuk Aila sangat mendukung tindakan aku ini.

Malam itu, Mang Agus membawa mobil pick up bapak sampai ke rumah Kandis, kami membawa Kandis dan Ibunya ke rumah. Aku menjelaskan semuanya pada bapak, beliau mungkin nampak kebingungan dengan tindakanku, namun kehadiran Ibuku menlancarkan segalanya, atas dasar kemanusiaan kami harus saling menolong sesama. Keluargaku yang cukup berada bersedia membiayai pengobatan untuk Kandis.

Kandis yang selama ini terasing bertahun-tahun karena penderitaannya. Membuatku berinisiatif untuk menulis kisahnya pada sebuah artikel dan kukirim ke surat kabar, setelah Kandis masuk ke ruang publik akhirnya banyak dermawan terketuk hatinya sanggup membantuku membiayai pengobatan dan perawatan Kandis sampai sembuh total. Yaitu bisa sehat, dan hidup normal selayaknya anak Gadis seusianya. Akhirnya berbagai tindakan medis bisa dilakukan untuk pemulihan.

Disamping itu semua, Kandis mengilhamiku untuk melakukan riset mendalam mengenai perkembangan kesembuhannya, aku mencari cara dan menciptakan suatu metode terapi dan alat yang berguna untuk menolong orang-orang yang bernasib sama seperti Kandis. Bukan maksud menjadikannya sebagai kelinci percobaan, namun aku sekuat tenaga melakukan berbagai upaya bersama tim medis yang menangani Kandis. Agar dia benar-benar bisa hidup normal dengan keadaan fisik sama seperti kami.

Terapi pengobatan untuk Kandis berlangsung selama bertahun-tahun, begitu juga penelitianku. Aila yang bercita-cita menjadi ahli farmasi turut andil besar dengan melakukan riset serupa dengan menemukan pengobatan tepat untuk membantu kesembuhan Kandis, pastinya di bawah pengawasan orang-orang profesional. Kami berjuang begitu keras untuk Kandis. Semuanya semata demi mengembalikan kebahagian dia yang selama bertahun-tahun tidak miliki. Bayangkan saja, Kandis harus kehilangan masa kanak-kanak bahkan remajanya karena penderitaan yang dialami.

Setelah memperoleh informasi dari Kandis, dia memang Korban Tabrak lari yang dilakukan oleh kendaraan Dinas setempat, Yah, sudah diusut oleh pihak berwajib pelakunya adalah salah satu pejabat setempat yang tidak mau bertanggung jawab. Dia mengancam keluarga korban, agar tidak melaporkan tindakannya karena saat itu tersangka menempati posisi penting. Orangtua Kandis tidak memiliki dasar pendidikan yang baik dengan keadaan ekonomi pas-pasan, mereka tidak memilki keberanian yang besar.

Terlebih setelah Ayah Kandis meninggal satu tahun berikutnya, membuat Ibunya dengan mudah di Intimidasi dan selalu dalam bayang ketakutan bertahun-tahun. Sehingga Kandis dibiarkan terus lumpuh agar tidak bisa membocorkan informasi. Sungguh sangat menyedihkan penderitaan yang harus Kandis alami. Aku tidak bisa membayangkan. Berjalan waktu semuanya akhirnya terungkap, kejahatan dan ketakutan yang melingkupi keluarga Kandis sirna.

***

“Pak, Pak berhenti disini.” Pintaku pada supir taksi yang mengantar ke rumah sakit besar di Bandung.

“Ini Pak, uangnya.” Aku berikan ongkos taksi tersebut.

“Iya, terima kasih De, selamat ya, semoga cepat sembuh kerabatnya.” Ucap supir itu ramah, karena sepanjang jalan aku menceritakan semua padanya. Sopir ramah dan komunikatif sangat jarang di temukan di kota Bandung, namun lain dengan yang satu ini.

Membuatku tak sungkan membagi kebahagian hari ini pada beliau. Sengaja aku berhenti disini, karena ingin membelikan jeruk yang biasa dijual di sepanjang jalan sekitar rumah sakit.

Aku menyusuri lorong rumah sakit, ada apa dengan hari ini? aku perhatikan sekeliling begitu diliputi rasa senang dan hangat, berbeda dengan kesan rumah sakit yang identik dengan seram, angker dan kepanikan.

Melihat Suster dengan senang hati mendorong roda pasiennya. Petugas administrasi melayani orang-orang dengan senyuman. Security sigap membantu orang bertanya ruangan dengan sopan santun. Bahkan, aku melihat seorang OB nampak mengepel lantai dengan handsfree di telinga menikmati irama musik yang didengarnya. Ini sudah menjadi pertanda, bahwa lingkungan berkonspirasi menciptakan suasana kebagahiaan yang telah lama pergi.

Tibalah aku di ruangan perawatan Kandis. Letaknya di Lantai 4. Saat aku buka pintu.

“Hah ? Dimana Kandis? Apa sudah pindah ruangan. Tapi Aila sama sekali tidak memberitahuku.” Aku hanya melihat ruangan tersebut nampak rapi, dengan selimut terlipat dan tanpa ada alat inpus menggantung di sana. Aku ambil ponsel, menghubungi Aila.

“Yang, kamu dimana ? Kok Kandis tidak ada di ruangannya?”

“Hehe, aku lupa memberitahu, Kandis sudah di izinkan pulang Dokter.”

“Ah, kamu ini kebiasaan, aku sempat panik tadi.”

“Kalem pak Dokter, Kami lagi di taman kok.” Terang Aila. Langsung menengok ke Jendela, melihat taman di bawah. Ruangan ini menghadap tepat ke taman rumah sakit. Terlihat Aila melambaikan tangan. Langsung aja aku tutup Ponsel, dan berlari ke bawah.

Menyusuri Lorong menuju taman yang sisi kiri-kanannya dipenuhi tanaman rambat. Ditengah-tengah lorong Aila sedang berjalan mendorong kursi roda Kandis. Keduanya nampak tersenyum saat melihatku berlari menghampiri mereka.

Penyangga tulang leher yang dipakai Kandis nampak sudah dilepas, dia sekarang sudah bisa menatap tegak, hanya tinggal alat bantu yang dipasang pada punggung agar tulang belakang tetap tegap, rambut panjang lurus dia sisir rapi kebelakang telinga, memamerkan anting-antingnya berkilau. Wajahnya sudah tidak terlihat pucat, hanya rona pink segar dipipi membuat ia terlihat cantik dari biasanya.

Kami menyayanginya seperti pada adik kami sendiri.


Aku membungkukan badan untuk bertanya padanya.

“Bagaimana keadaan ...”

Tiba-tiba Kandis bangkit dari kursi rodanya dan memeluk tubuhku, dia bisa berdiri, iyah berdiri. Oh, aku tak kuasa membendung air mata suka cita ini. Kandis mengucapkan sebuah kata pelan di telinga, seperti bisikan lembut malaikat, kata itu yaitu “Terima Kasih”. Tanganku pun melingkar ke punggung Kandis. Aila juga menitikan air mata melihat momen bahagia ini.

***

Kami berjalan bertiga, meninggalkan Rumah Sakit itu. Aila bertanya bagaimana dengan Sidang Skripsiku.

“Minggu depan aku di wisuda, Yang”

“Ohh, bagus, Selamat !!! Aku senang banget.” Jawab Aila girang.

“Nah, lalu bagaimana Apotek kamu ?”

“Alhamdulilah lancar, kemarin kami baru saja syukuran 7 bulan berdirinya Apotek.”

“Kayak ibu hamil saja nujuh bulanan. Hahaha ”

Aila memang setahun lebih awal kelulusannya daripada aku, karena pengetahuan farmasi dan penemuan obat-obatannya, seketika lulus langsung direkrut kerja di salah satu laboraturium obat herbal di Yogyakarta.

Setahun bekerja dia sudah bisa membangun Apotek sendiri. Pengenyam pendidikan kedokteran memang terbilang lama, namun itu semua di perlukan demi profesionalisme seorang Dokter. Kandis hanya tersenyum menyimak obrolan kami.

***

Dua Tahun berlalu. Kandis sukses menjadi seorang penulis novel, karya-karyanya selalu diminati masyarakat, sampai menjadi bestseller. Meskipun tuna wicara, itu tidak mengganggunya. Saat mulut sulit berkata jujur, namun hati selalu berbicara dengan tulus. Begitulah cara dia menuangkan setiap karya tulis, menulis dengan hati. Sekarang Dia memilih tinggal bersama ibunya.
Aku duduk di beranda sambil memberi makan merpati-merpati. Seperti biasa menikmati senja di Desa. Sambil membaca surat tulisan Kandis.

Terima Kasih, Kang Danu dan Keluarga, atas semuanya, Kandis tulis ‘semuanya’ karena aku sendiri tidak bisa menghitung banyaknya kebaikan yang sudah keluarga dan Kang Danu lalukan. Kandis tidak mau merepotkan lagi, kini bersama Ibu, Kami tinggal di Flat sederhana di Kota Bandung.
Entah bagaimana Kandis bisa membalas kebaikan kalian. Mungkin dengan sebuah novel ini, bukan hanya aku, namun semua orang yang membacanya akan sangat berterima kasih pada Kalian yang sudah membantu mengembalikan Kebahagianku. Semoga Allah membalas setiap jengkal kebaikan yang Kang Danu, Keluarga dan Orang-orang yang telah menolongku lakukan.
Oh iya, satu lagi, selamat menempuh hidup baru yang bahagia dengan Teh Aila, kalian berdua memang pasangan yang di ridhoi Tuhan. Sakinah, Mawadah, Warohmah. Salam buat Teh Aila yang cantik. ^^

Salam Sayang.

Kandis Kanditasari


Kemudian aku membuka paket yang dikirim Kandis, sebuah Novel berjudul “Terima Kasih, Danu” aku tersenyum melihatnya. Di halaman pertama novel itu tertulis “Special Dedicated for Special Persons – Danu, dan Semua”.

Dari sinopsis cerita novel ini mengisahkan  seorang pria yang berjuang menolong wanita yang kehilangan kebahagiannya, lewat sebuah skenario epic yang di tulis Tuhan, pria itu hanya mengikuti keyakinan kata hatinya.

Lalu saat, membuka lembaran demi lembar novel tersebut. Sebuah postcard jatuh, di atasnya ada tulisan tangan Kandis

“Kang Danu, ini ada salah satu postcard dari pembaca setia Kandis, katanya dia kenal Kang Danu”

Aku baca isi postcard tersebut, “Novel yang bagus Kandis, Salam yaa buat Danu. Aku kenal Danu karena dia  pernah modus mimpiin aku, hahaha – Karisa.” Aku kaget membacanya, oh iya. Apa kabarnya Risa?

-------------------------
Tamat.

Cerbung : "Diary Bersayap" - Part 3 - By Irfanmuse

Cerpen Part 3
Judul : Diary Bersayap : Rahasia
Karya : Irfan Mustofa



Petugas yang melayani beranjak dari mejanya, kemudian masuk ke ruangan milik ‘Kepala Desa’. Karena pintu tidak rapat dari tempatku duduk sedikit bisa mengintip perbincangan serius antara Pak Sabdo dan Kades. Ekspresi Pak Kades nampak kebingungan. Namun kali ini Pak Kadeslah yang keluar. Dengan air muka ramah beliau duduk di hadapanku.

“Nak Danu kan?” tanyanya sambil kusambut jabatan beliau. Tak seperti Pak Sabdo yang formal dengan memanggil bapak.

“Ini, Nak Danu, di sini tercantum Data Warga Desa bernama Kandis, ada tiga orang. Semoga bisa ketemu ya,“ telunjuknya mengarahkan.

“Iya, Pak. Biar saya foto dulu.” Aku ambil gambar dengan ponsel agar lebih cepat dibanding dicatat.

“Baiklah, itu saja kan, Nak Danu? Semoga bisa menemukan Kandis yang dimaksud ya.”

“Iya, Pak terima kasih banyak bantuannya.” Aku langsung pamit. Pak Lurah menyuruh salah satu ajudannya untuk menemani. Namun aku tolak,  karena yakin bisa menemukannya sendiri. Dalam hati, sebenarnya tidak ingin maksud asli ini diketahui.

Di sepanjang jalan pencarian, aku teringat perbincangan hangat bersama Ibu kemarin pagi. Yang berhasil memberi pandangan yang kuat untuk menemukan Kandis.

“Loh, mana Bapak ?” kata ibu sambil membawa sebakul nasi yang sudah di-akeul (di angin-angin)

“Nanti nyusul Bu, tadi katanya mau ke kebun dulu.”

Waktu sarapan kami hanya berdua, sehingga obrolan berlangsung intim antara aku dan Ibu, tahu sendiri seorang Ibu lebih banyak bicara lewat perasaan dan kasih. Saat kuceritakan Mimpi-mimpi, surat, burung dara itu. Dengan peka Ibu sudah memetik kesimpulan tersendiri.

“Itu sebuah petunjuk, Nak” Kata Ibu dengan lengkung dibibirnya,

“Petunjuk apa, maksud Ibu? Aku sendiri bahkan tidak mengenal wanita ini. Lalu apa hubungannya.” Tanyaku heran.

“Wallahualam... Allah punya skenario sendiri, takdir Tuhan itu berjalan indah. Mungkin Allah menjawab Doa penulis surat itu, lewat kamu, Danu.”

“Aku masih tidak mengerti...” tertunduk sambil menyuap nasi.

“Danu, mungkin ini seperti kebetulan yang epik, tapi pikirkan juga untuk apa kebetulan itu? jika memang jalannya kamu harus menolong dia, ya tolonglah.” Kata Ibu lebih bijak.

Aku tertegun sejenak, “Oh, begitu Bu...” dari ibulah aku mendapat pandangan mengenai skenario yang epic Sang Ilahi ini.

“Insallah, kamu ini calon seorang dokter, bisa saja ini ujian untuk mu, menjadi apakah awal apakah kamu layak sebagai penolong? Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain, itu bukan sekedar pepatah, tapi Firman Allah di Al-Quran.” Nasihat Ibu semakin menumbuhkan benih keyakinan dihatiku.

“Ikutilah hatimu, Nak. Kamu tahu apa yag terbaik buat dirimu.” Ucap Ibu, sambil mengecup kepalaku. Lalu melangkah ke dapur.

“Jika ini doa miliknya, aku harus bantu mewujudkan doa-doanya...”

Kata-kata Ibu masih terngiang di kepala. “Ikuti kata hatiku ya, bu?” bisik di hati.

Angan-angan buyar saat mendengar suara gemuruh guntur dari kejauhan. Awan sudah menumpuk dan menggelap. Aku percepat langkah, menuju alamat pertama. Alamat pertama yang di susuri, merupakan milik seorang wanita paruh baya yang mengaku Ibu dari Kandis. Namun dia mengatakan anaknya sudah meninggal 7 tahun lalu. Karena saat aku temui Ibu tadi, sepertinya baru datang dari kebun, bisa terlihat peluh berjatuhan dari wajah beliau.

Sepanjang jalan pulang aku sempat mengumpat, karena sikap ibu tadi. Yang tidak bisa memberinya banyak informasi. “hah, aku harus sedikit bersabar.” Mungkin ini perasaan saja yang terlalu menggebu-gebu. Lanjut menuju alamat selanjutnya. Pak Kades sempat bilang salah satunya adalah seorang janda muda.

Sampailah di depan rumah alamat kedua, seorang pria keluar dari rumah itu sambil mengancingkan baju. Lalu dari dalam seorang wanita sempat berbisik padanya.  Pria itu sumringah lalu pergi. Terdapat plang bertuliskan “Jasa Pijat” wanita itu melirik padaku senyum mengembang di wajahnya.

Wanita dengan rambut sebahu dan berparas cukup cantik. Aku mengucap salam dan bertanya apa ini kediamannya. Dia memegang tanganku untuk masuk. Setelah mengutarakan maksud kedatang. Ia malah menutup pintu rapat-rapat. Perasaan mulai tidak karuan.

“Aku tahu sepertinya kamu bukan pemuda dari desa ini.” wanita itu bicara lalu berjalan ke arah belakang kursiku.

“Iya, saya dari desa lain, benar nama anda Kandis?”

“Waahh, ternyata namaku sudah tersohor sampai desa lain rupanya" Ucap wanita dengan nada bangga, "kamu pasti sangat lelah” katanya dengan manis. Tangannya mulai bergerak ke bahu.

“Ss-saya.. maaf mba, saya tidak apa-apa. Saya hanya ..” suaraku terbata, dan seketika jantung pun berdegup kencang.

“Akang, gak usah tegang gitu. Sudah biar saya pijat, mari...” tangannya kembali menggerayang di bahu. “Aku tahu kok, maksud kedatangan kamu?” bisikan halusnya membuat syahwat terguncang.

“Danu. Maaf mba, bisakah anda duduk dahulu.” Aku menyingkirkan tangan nakalnya.

“Sudahlah tenang saja. Saya tahu tujuan anda datang jauh-jauh kemari.” Tangannya kemudian dari belakang melingkar ke dadaku. Sontak aku kaget, apa yang wanita ini lakukan. Aku menyingkirkan tangannya dan berdiri.

“Punten, Teh ! Apa-apaan? Ini pelecehan !” sentakku, dengan kening mulai berkeringat.

“Loh, loh ! kok marah, kamu datang kesini untuk di pijat kan ? apalagi jika bukan untuk pijat plus... ” suaranya pelan menggoda. Membuat darah lelaki normal berdesir, terhentak aku mendengar ucapannya.

“Astagfirloh ! Maaf saya salah orang.”

Aku langsung memalingkan wajah, dan langsung keluar. Wanita itu hampir mencegatku. Hati berbisik dia bukan yang kucari. Daripada timbul fitnah, dan hal yang tidak-tidak sebaiknya segera menjauh dari sana. Kehormatan masih kujaga sebagai lelaki baik-baik.

Kegagalan memulai perjuangan ini, selanjutnya harus berhasil doktrin dalam hati. Rumah ketiga adalah pemilik Ibu-ibu sehat walafiat, usianya hampir sama dengan Ibuku. Orangnya sangat terbuka dan ramah dia menjamu dengan baik, membuat nyaman untuk menceritakan semuanya. Namun dia sama sekali tidak tahu-menahu mengenai surat-surat dan burung dara itu. Beliau memahami maksud, dan mendukung usahaku.

“Nak. Danu. Semoga kamu temukan gadis malang itu, beruntung sekali dia mendapatkan pria baik hati yang mau menolongnya. Ibu, doakan semoga berhasil” senyumnya tersungging penuh harapan. Beliau melambaikan tangan dari depan rumahnya.

“Terima Kasih Bu, sampai jumpa kembali.” Mendengar ibu tadi mendoakanku, seperti mendapat suntikan semangat agar terus berusaha. Meskipun lagi-lagi belum aku temukan dimana Kandis.

Tak lama kemudian hujan turun. Butir-demi-butir air langit menghantam tanah. Aku reflek berlari mencari tempat berteduh, kebetulan tidak jauh ada sebuah musola. Hari ini pencarianku tidak membuahkan hasil. Setelah solat dzuhur aku memanjatkan doa. Semoga mendapatkan petunjuk dan kemudahan dari-Nya.

Di beranda musola aku masih terduduk kebingungan, termenung sendiri kenyataannya tidak ada Kandis yang aku cari di Desa Sajang Hurip ini. Hujan pun mereda, mencoba menghibur suasana hati di ambang keputus asaan.


“Akhirnya ketemu juga ! kamu ada disini rupanya?” teriak seorang wanita dari luar pagar, dia memasukan sepedanya ke halaman musola ini.

“Iya, kenapa ?” timpalku.

“Hosh... hosh... aku mencari-cari kamu dari tadi, namamu Danu, bukan?” tanya dia disela-sela nafasnya yang tersenggal senggal.

“Iya, ya sudah duduk dulu, kamu sangat kelelahan. Namamu siapa ?” aku mengajaknya duduk bersama di beranda musola itu.

“Karisa, panggil saja aku Isa, atau Risa terserah kamu. “ jawabnya hangat ”eh, Aku loh yang tadi nganterin kamu ke kelurahan. Ingat?”

“Oh, Kamu ya .. hehe.. maaf tadi tidak sempat berkenalan sih.”

“Kamu sedang mencari Kandis, benar ? Tak sengaja aku menguping di kantor.”

Risa pun itu menjelaskan semua petunjuk arah kemana harus menemukan Kandis lain, semoga aja memang benar. Untuk memastikan aku sampai pada arahan Risa, dia mau mengantar sampai kerumahnya. Aneh, bukan perkenalan berlangsung lama tapi sudah merasa cukup akrab dengan dia, mungkin karena sifat Risa yang  terbuka dan hangat.

“Biar aku antar pakai sepeda. Tapi kamu yang boseh yaa” Risa memintaku untuk menggowes, dan membiarkan dirinya diboceng.

Saat dia membelakangi untuk mengambil sepeda yang sandarkan. Seperti melihat seseorang yang sebelumnya pernah aku lihat.

“Tunggu Risa, sepertinya aku pernah melihat kamu.”  Pertanyaan itu reflek keluar dari mulutku.

“Kamu ini gimana, tadikan sudah aku bilang, kita pernah ketemu di kelurahan tadi.”

Pikirku, ini sungguh aneh Risa mirip sekali dengan sosok wanita di mimpi itu. Perawakannya, rambutnya, warna baju yang dipakai, dan sepeda itu.

“hehe.. tunggu dulu, ini memang sedikit konyol. Aku pernah bermimpi bertemu denganmu”

“Hahaha plis deh, semua laki-laki sama aja ya, suka modus, hahaha sudahlah, Ayo Danu!” tawa manisnya membuat aku malu, kenapa berkata seperti  itu ya, jelas Risa akan berpikir macam-macam padaku.

Sore itu, di jalanan desa yang basah. Sepeda itu meluncur cepat. Risa dibonceng berdiri di belakangku. Membiarkan rambutnya diterpa angin dan menikmatinya. Di depan stang sepeda itu terpasang sebuah keranjang kayu, berisi kertas, dan buku-buku. Kembali lagi anganku melayang pada mimpi itu. Pikiran masih di ambang rasa heran luar biasa. Tiba-tiba Risa menepuk bahu untuk berbelok, baru saja dia mengembalikan diriku dari lamunan. Sesuai arahannya.

“Kamu suka baca ya?” tanyaku sambil terus menggowes, melewati pesawahan di sisi kiri dan kanan jalan.

“Iya, aku suka baca, suka nulis artikel, puisi, aku suka sastra pokoknya, kenapa? Apalagi yang mau kamu tahu?” satu momen, Risa terdengar jutek.

Mungkin karena perkataanku tadi di musola, membuatnya beranggapan niat ditolong tapi seakan aku memanfaatkan situasi untuk merayunya. Risa memang orang easy going, tapi dia juga bisa jual mahal.

“Eumm, iya sama aku juga. Tunggu sampai aku ceritakan Diary misterius yang pernah aku baca.”

“Oh yah? Emang ada? Kyk gimana?” tanya Risa penasaran. Aku berhasil mengundang hasrat ingin tahunya, sedikit aku bisa mengembalikan suasana Risa yang sejak pertama bertamu. Harus pintar Breaking The Ice, sebelum dia menjadi ilpil padaku.

“Diary bersayap, yang mendasariku mencari wanita bernama, Kandis itu.”

Sepanjang jalan aku ceritakan semuanya. Perjalanan cukup jauh ke rumah Kandis, menjadi tidak terasa sampai. Rumah yang tidak terlalu besar, nampak reyot bila dikata ini lebih seperti sebuah gubuk. Rumah panggung khas adat sunda pedesaan, berdinding kulit bambu anyam, orang sini menyebutnya Bilik.

Risa memilih dibawah menjaga sepedanya, dan tidak menemaniku mengetuk pintu. Dia yakin ini rumah warga bernama Kandis lain. Aku sendiri heran mengapa Pak Kades tidak memberikan alamat rumah ini.

Aku menaiki lima buah anak tangga dan mengetuk rumah itu. Seorang ibu paruh baya membukakan pintu. Hingga aku mengutarakan tujuan, Ibu tadi langsung menutup pintu. Beliau tidak percaya. Hanya ketakutan yang menguasai dirinya untuk melindungi putri semata wayangnya.

Sampai aku berkata bisa menolong dengan mengakui sebagai Dokter. Ibu tadi baru bisa luluh, dia mengharapkan anaknya sembuh dari sakit.

“Ibu, saya bisa menolong putri anda. Percaya padaku.” Usahaku meyakinkan ibu.

“Baiklah, darimana kamu tahu rumah ini ?”

“Aku diantar seseorang yang mengaku teman masa kecil Kandis, namanya Karisa. Dia tepat ada di bawah ...” membalikan badan untuk menunjukan Risa, namun dia sudah tidak ada.

“Siapa Risa? Mana orangnya?” tanya Ibu menengok kebawah dari rumah panggungnya.

Dalam hati, kemana Risa? Dia malah kabur begitu saja, heran jika memang teman harusnya dia juga ingin melihat keadaan Kandis. Sempat kecewa, namun juga aku harus sadar diri dialah mengantar sampai sini. Entahlah, hanya tak habis pikir dengan wanita itu. Menolong kok setengah-setengah.

“Dimana Dia ? bagaimana kamu bisa sampai di sini, kamu jangan main-main Nak.” Rasa percaya yang baru saja tumbuh mulai layu lagi.

“Tidak Bu, begini tadi saya ke sini diantar seseorang. Sudahlah Bu, Izinkan saya melihat keadaan Kandis. Dia sedang sakit kan.”

Tanpa konfromi kembali, Aku diizinkan masuk melihat keadaan Kandis. Kelumpuhannya dibiarkan selama 7 tahun. Dia terbaring di tempat tidur, menatap kosong ke arah jendela kamar. Mungkin dia masih berharap burung Dara itu bertengger di sana, membalas surat.

"Kamu tidak perlu mengkhawatirkan Daramu, dia baik-baik saja, dia berkerja dengan baik karena sudah mengirimku kesini" Ucapku di pintu kamar, membuat Kandis kaget.

Kandis menoleh padaku, matanya berkaca-kaca, mulutnya terkatup-katup seperti ingin mengatakan sesuatu, namun satu katapun tak kuasa keluar dari pita suaranya. Ibunya membantu ia bangkit agar bisa duduk, nampak keadaan begitu menyedihkan tulung punggung bungkuk, leher condong ke kiri sehingga kepalanya tidak bisa tegak.

Sepertinya Kandis mengalami Closed Frakture yaitu suatu keadaan patah atau terjadi retakan pada tulang, namun tidak sampai merobek kulit. Hanya retak dalam. Karena tidak mendapat penanganan medis secara khusus dan dibiarkan. Mengakibatkan Fraktur tulang mengalami kompresi ini biasa terjadi pada tulang belakang. Itu yang membuatnya bungkuk. Sejauh itu analisaku menurut pendidikan medis calon Specialisis Dokter Orthopedist (Dokter Tulang). Malang sekali Kandis.

Aku perkenalkan diri padanya. Kandis hanya bisa berkata dengan Gagu, kubaca gerak bibirnya mengatakan banyak kata namun sulit. Satu kata yang bisa dimengerti “Terima Kasih”. Hanya memegang tangannya, kedatanganku membuat Ia sangat bahagia, itu tersirat dari wajah.

Ibunya merapihkan rambut Kandis yang berantakan, beliau menceritakan segalanya. Semenjak Ayahnya meninggal, kini hanya beliau yang merawat Kandis seadanya. Kondisi ekonomi tidak memungkinkan untuk memberikan perawatan secara medis.

Kandis merupakan korban tabrak lari, sampai sekarang tidak diketahui siapa pelakunya. Ibunya sama sekali tidak terfokus oleh itu, dia hanya ingin anaknya sehat kembali. Namun apa daya, kebun dan harta habis untuk perawatan anaknya.

“Aku bisa melakukan sesuatu untuk menolong Kandis, Bu !” kuraih ponsel dari saku.

“Mang Agus, aku mau pulang, jemput sekarang di ...” aku jelaskan alamat posisi sekarang.

----------------------
Bersambung...
Cerbung : "Diary Bersayap" - Part 4 : End - By Irfanmuse

Cerbung : "Diary Bersayap" - Part 2 - By Irfanmuse

Cerpen Part 2
Judul : Diary Bersayap : Petunjuk
Karya : Irfan Mustofa


“K-A-N-D-I-S, Kandis ?” termenung sejenak karena sebelumnya pernah membaca nama itu.

”Subhanallah, ini nama penulis surat itu” aku mengecek kembali setiap kertas itu.

“Iya, tepat sekali, nama dia tertulis di surat tanggal 13 Maret 2012. Kenapa aku baru ngeh ya?” mungkin karena kantuk, tidak teliti membacanya. Setelah dicermati dapatlah sebuah Informasi, yaitu Kandis dari Desa Sajanghurip. Wanita penulis surat-surat ini.

***

Surya yang muncul dari balik pegunungan, menepis kabut pagi. Bulir-bulir embun pada padi, berkilauan saat disinari. Tapi pagiku dimulai di kandang sapi membantu Ayah, dan adiknya membersihkan, memberi makan, dan memeras susu sapi segar. Kami berbincang mengenai banyak hal termasuk kuliah di Bandung, cerita juga Burung Dara yang kurawat karena luka. Sampai di ujung obrolan kutanyakan sesuatu karena habis bahan obrolan.

“Kang Agus, tau desa sajang hurip gak?” tanyaku pada paman.

“Desa Sajang hurip asa pernah dengar.” Sambil mengerutkan dahi.

“Eta mah, ada di sana, tuh di balik bukit itu ?” Ayah ikut menjawab menunjukan sebuah bukit disebelah barat desa kami.

“Oh Enya bener eta, Sajanghurip mah lumayan jauh.” Kata Mang Agus membenarkan.

“Oh kitu, tapi kalo pake pick up Bapakkan gak akan jauh. Mungkin.” Sanggahku, pada Ayah. Yang biasa aku panggil Bapak kalau dirumah.

“Iya bapak pernah nganteran sayur kaditu, tapi mau ngapain kesana, Nu ?”

“Euump...” dalam benak mana mungkin bicara soal mencari sosok wanita bernama Kandis itu, dalam hati tekad masih ragu juga untuk menemuinya. Semua hal kebetulan abstrak ini akan sulit dipahami Bapak. Maka terbesit olehku cara aman untuk memberitahunya.

“Danu, mau cari teman pak, katanya satu daerah, tapi dia bilangnya orang sajang hurip.”

“Temen Kampus?”

“Heem...” aku iyakan dulu saja, sembari mengumpulkan keyakinan hingga siap untuk mencarinya.

Lelahnya pagi ini, jam tanganku menunjukan pukul 8. Ibu sudah memanggil kami untuk sarapan. Meskipun orang desa, perlu kusyukuri karena hidup di tengah keluarga berkecukupan, kami memiliki ternak sapi, kebun, dan sawah yang luas. Sebagai putra sematang wayang aku akan mewarisi semuanya. Namun mereka tak pernah memaksa aku untuk menjadi petani atau peternak. Dukungan selalu mengalir akan pilihanku.

Setelah sarapan aku naik ke kamar. Membawakan sekepal jagung kering untuk merpati itu. Ia mematuknya dengan lahap. Makan sendiri tanpa memperdulikan anaknya. Selang beberapa saat, burung kulihat tersedak. Kepalanya menghadap ke atas, paruh terbuka. Seperti akan memuntahkan kembali makanannya. Baru pertama kali aku lihat burung mau tersedak. Konyol sekali.

“Nah, ini akibatnya. Makan rakus, lupa sama bayi-bayi burungmu.” ucapku sesumbar sambil mendekatkan air pada burung itu.

Diluar dugaan, ternyata burung itu bukan sedang tersedak. Melainkan sengaja mengeluarkan kembali makanan, dari paruh ia suapi anaknya. Aku menyaksikan secara Live bagaimana seekor induk burung dengan sayang memberi makan anaknya. Oh, manisnya, malu sendiri sudah sesumbar. Nuansa itu agak terganggu oleh dering handphoneku.

“Halo, assalamualaikum”

“Walaikum salam, Aa?” terdengar suara perempuan. “Aa, iihh kemana aja? dari pagi aku sms, ditelpon juga gak diangkat terus.” Kesalnya bernada cemas.

“Aiiihh... yang lagi kangen, hehehe” sahutku tertawa kecil.

“Ih, kang Danu mah? udah seminggu gak ngasih kabar, huuh, mentang-mentang libur. Libur juga sama Aila! tadi pagi dimana?” tanya pacarku bertubi-tubi, begitulah caranya jika lagi ngomel. Andai bisa kulihat wajahnya gemas sekali kalau lagi cemas. Sudah 8 bulan kami jadian.

“Neng, tadi Aa lagi di kandang...”

“Ih ngapain?” potong dia sebelum mendengar kalimatku utuh.

“Lagi, ngawinin sapi !” -_-

“Idiihh.. jadi ilpil euy.” Sahut candanya.

“Eh, dengerin dulu makanya jangan main potong aja...”

“Iya, ini Neng dengerin.” Potongnya lagi.

“Nah itu, motong lagi ! hehe jadi tadi pagi itu...” aku diam hingga lima detik lamanya.

“Apa? kok diem?”

“Tuh, itu motong lagi. hahaha” Candaku.

“Ih, si Aa nyebelin.” Gemasnya.

“Hahaha” ngengenin rasanya kalau dengar suara Aila “tadi pagi Aa lagi di kandang sapi bantuin Bapak. Ya gak bawa hapelah, ntar nyemplung kan gawat ! bukan seminggu lagi Aa gak bisa ngabarin Eneng, tapi selama libur semester jadinya. hehe” jelas apa adanya.

“Ohh hehe, iya gawat banget itu mah. Sayang, Aila kangen ih.”

Teringat kembali perjumpaan pertama saat Ospek Kampus, aku datang dari Desa dan begitu kuper, tapi cuma Aila yang suka membantu. Bahkan setelah dia berpisah masuk Jurusan Farmasi dan aku di Kedokteran. Kami tetap sering bertemu saat pulang dengan angkot. Kebetulan jalan kerumah Aila searah dengan tempat Kost-anku.

Pertemuan sering itulah membuat kita saling mengenal, sampai bunga hati ini bermekaran, Memang bukan pertemuan yang romantis. Bagiku Cinta itu Kangker, tertanam dan meluas sedikit demi sedikit. Tapi kata Aila, cuma satu obatnya. Sikapi dengan Hati.

“A Danu juga kangen, Neng.”

“A, lagi apa ? sudah makan?” pertanyaan standar pasangan kalau di telpon.

“Sudah, ini lagi nonton burung dara makan“ kujawab seadanya.

“Gada kerjaan, hem, gak nanya balik?”

“Nanya apa?”

“Selalu, A’Danu mah gak peka, Au ah...” diam sejenak lalu “Eh, A ! kemarin malam neng mimpi aneh loh” berganti topik.

“Aneh gimana? ”

“Gak tau, Aila mimpi ada di sebuah bukit, malam-malam, ngeliatin bulan, indaaaaah banget.” Keterangan Aila membuatku terpaku, kita bermimpi sama? Hanya beda posisi, aku pikir mungkin mimpi itu terbangun karena kami saling rindu.

“Halo A ?”

“Oh, iya halo, ada sepeda gak?”

“Iya! kok tau? Neng naik sepeda ke desa, dan itu asing banget.”

“Hehe nebak aja. Tapi kayak senitron yaahh. haha” dalam hati, ini benar-benar aneh, mungkin kami ditakdirkan berjodoh.

“Heem... Neng tutup dulu ya, Mau MAKAN! Itu yang tadi gak ditanyain ke Aila. Hih !” jelasnya sedikit kesal karena direspon singkat, tapi aku yakin itu bukan rasa kesal tapi sekedar luapan rasa rindu.

“Iya, Neng, makan yang banyak yaa. Makasih udah nelpon, Danu selalu sayang Aila,” kalimat penutup itu semoga mencairkan hatinya.

“Ooww.. iya Aila juga. hehe” Jawabnya. Lalu suara dia menghilang.

Perasaanku menjadi lebih baik setelah mendengar suara Aila. Siang ini, masih banyak tugas, bersama Mang Aep dan Kang Agus akan memantau perkebunan Sawi dan Kubis yang sedang panen.
***


“Nona, sedang apa kamu sendirian disini ?” wanita itu seketika kaget, hingga menjatuhkan buku yang dia pegang ....

Aku angkat buku itu, lalu berteriak “Nona !! ini milik anda, jatuh disini !!”

Dari kejauhan wanita itu menoleh, aku tidak bisa melihat wajahnya, rambutnya saat itu menutup, dia terus menggowes sepeda hingga jauh, dari atas bukit ini aku bisa melihat lampu-lampu rumah dari kejauhan, dan wanita itu menuju ke sana.

Misterius, satu kata untuk dia. Rasa penasaran aku buka halaman pertama ada satu kata, sebuah nama tertulis dengan tinta tebal berwarna hitam.

“Kandis Kanditasari.” Lalu saat kubuka lembaran lainnya ada satu kalimat “Tolonglah, aku butuh kamu.”

Aku terbangun oleh Adzan Subuh melantang dari Masjid seberang rumah. Ini mimpi yang sama. Bukan sekedar bunga tidur, atau sugesti rindu menggebu. Ada petunjuk bahwa aku harus menemui wanita yang menulis surat-surat itu.

Awalnya aku tidak bisa menerima hal-hal diluar logika seperti ini. Benar apa kata Ibu, Bisa jadi ini pentunjuk dari Tuhan, semalam aku shalat Istikharah untuk mencari jawaban atas misteri yang mengusik pikiran. Misteri akan diary itu.

Benar adanya, seseorang disana membutuhkan bantuan. Kebetulan ini? Entahlah, tapi ini seperti skenario yang epic dari Sang Ilahi. Tekadku sekarang sudah bulat

“Aku akan mencari dia !”

***


Pagi hari aku bergegas pergi ke desa itu, dengan alasan menemui teman yang diceritakan kemarin. Akhirnya Bapak mengizinkan, Mang Agus mengantarku ke Desa Sajang Hurip menggunakan mobil Pick Up. Mempuh 3 jam hingga sampai. Namun jika hujan tiba waktu tempuh bisa lebih dari itu, tentu saja, jalan terjal dan berbatu membuat jalur akan sulit dilalui. Syukurlah semesta mendukung untuk hal ini.

“Kang Agus, sekarang balik aja, nanti Danu kabari kalau mau pulang.”

“Yang bener, Nu ? terus yang mana rumah Teman Kampus Danu itu.?”

“Ada di sekitar sini kok, Kang. Gampanglah nanti Danu kan bisa tanya-tanya” jelas aku menenangkan, meskipun ada bumbu kebohongan saat itu.

Aku pandangi mobil pick up yang biasa mengantar sayur itu, berbalik arah kemudian pergi. Hanya berbekalkan sebuah nama, “Kandis Kanditasari” jika tidak salah itu yang kuingat. Pencarian akan dimulai di Kantor Kepala Desa. Pasti bisa dapat Informasi tentang alamat rumahnya.

Aku bertanya kesana kemari tentang letak Kelurahan setempat. Kebetulan di jalan bertemu seorang wanita yang akan kesana juga. Suasana kantor cukup ramai dengan pegawai dan beberapa warga sibuk mengurus arsip mereka masing-masing.

“Apakah ada wanita bernama Kandis di Desa ini, Pak ?” akhirnya pertanyaan ini terlontar, setelah sekian menit berbincang dengan petugas lurah yang melayani. Karena sebelumnya harus kuceritakan darimana asal dan tujuan ke desa ini.

“Kandis? Di Desa ini banyak yang namanya Kandis. Memangnya ada perlu apa bapak mencari warga ini?” Jawab formal Pak Sabdo Aji, itu yang kubaca di nametag-nya.

“Sebelumnya saya sudah tahu Kandis mana yang akan ditemui, namun orang tua saya tidak tahu detail alamat ke mana bisa mengantarkan Undangan ini, agar sampai pada orang bersangkutan.” Alasan sudah kusiapkan untuk mendapatkan informasi tempat tinggalnya, mungkin dengan menunjukan sebuah Amplop, bisa terlihat meyakinkan.

“Oh begitu. Baiklah, bapak tunggu disini.”


---

Bersambung...
Cerbung : "Diary Bersayap" - Part 3 - By Irfanmuse

Cerbung : "Diary Bersayap" Part 1 - by Irfanmuse

Cerpen
Judul : Diary Bersayap - Part 1
Karya : Irfan Mustofa

Entah ada dimana sekarang? Didepan mata hanya sebatang pohon berdiri di punggung bukit bak lilin di atas cupcake, dalam temaram gelap remang cahaya menembus saat bulan mengintip di balik awan, dari bawah bukit aku picing ke atas. Seseorang nampak berdiri,  siluet seperti wanita memakai longdress.

Apa yang dilakukan dia? Berdiri tengadah menatap bulan, seakan mengajaknya berbincang. Dari belakang nampak rambutnya terurai hingga sebahu ia biarkan angin memainkan. Sebuah buku tebal digenggaman tangan kanannya. Dan satu sepeda tersandar di pohon itu.

Rasa penasaran menyeruak, inginku menghampiri dia, tetapi rasa takut juga hinggap  mengingat sesosok wanita berambut cukup panjang berdiri di bawah pohon di malam selarut ini, tak bisa dipastikan kakinya menapak, tidak dari bawah sini, naluri lelakiku berontak agar melihatnya dari dekat.

Setelah mendekat beberapa meter, longdress warna merah jambu terlihat setelah siluet hitam tubuhnya memudar, kuberanikan bersuara “Nona, sedang apa kamu sendirian disini ?” wanita itu seketika kaget, hingga menjatuhkan buku yang dipegangnya, sejak tadi ternyata dia melamun terhipnotis purnama,  tanpa sepatah kata pun dia langsung pergi menaiki sepedanya, meluncur menuruni bukit.

Jangankan menyapa, wajahnya pun tak sempat aku pandang dengan seksama, cahaya bulan begitu pelit untuk menerangi, bahkan angin sekongkol meniup-niup rambutnya sampai menutupi mata.
Apa yang salah denganku? kenapa dia langsung pergi begitu saja, sedikit pun tak terbersit niat jahat.
Masih kupandang dia terus menggowes menjauhi bukit, tanpa menoleh sedikit pun. Di tanah aku melihat sesuatu, sebuah buku. Ini yang dia pegang tadi, langsung kuraih, angkat dan berteriak padanya “Nona ! ini milik anda, jatuh tertinggal disini !”

Dari kejauhan wanita itu menoleh, lagi-lagi angin masih asik dengan rambut hingga tidak mengizinkan melihat rona wajahnya, terus menggowes jauh semakin jauh. Dari atas bukit pemandangan acak lampu-lampu rumah dari kejauhan, wanita itu menuju kesana, ke sebuah pemukiman.

Dalam hati kata misterius layak disandangkan padanya. Saat aku buka buku itu, ada sebuah kata di halaman pertama, namanya adalah ...

Brruuukkkk ... prak pakk pakk pakk ...

Terdengar keras suara benda jatuh, dan kepakan sayap membuatku terperanjat bangun.
Saat mata terbuka,  “Ya ampun, hanya mimpi. Bagaimana aku bisa tertidur disini” meregangkan tangan karena pegal menahan kepala di meja ini.
Melihat keluar jendela, sangkar burung Dara yang tadi sore aku tolong itu jatuh di balkon depan kamar tidur.  Sengaja digantung di sana agar terpantau dari meja belajar tempatku duduk ini.


Sangkarnya terguling, aku geser pintu kaca dan keluar untuk mengeceknya. “Malang sekali burung-burung ini, padahal si induk sayapnya patah”, ternyata kail penggantungnya terlepas. Mungkin karena sangkar pemberian Mang Aep ini sudah rapuh. Gara-gara burung ini aku temukan sesuatu, sampai-sampai harus begadang dan terlelap di atas meja ini.


***

Hembusan angin senja, dengan manja memainkan lonceng angin yang tergantung di langit-langit. Duduk diberanda halaman belakang sambil memandangi hamparan sawah menghijau. Menikmati suasana yang kurindukan selama ini.

See Sight desa cukup untuk melayangkan penat saat kuliah di Kota. Pilihan tepat untuk libur semester di kampung halaman. Aku bisa merasakan kembali Alam sedang Berdzikir sore ini. Berseru “Nikmat Tuhan yang mana, yang kau dustakan?”

Sesuatu menarik perhatianku, saat seekor burung Dara berwarna putih melintas di langit. Lalu  hinggap pada dahan pohon mangga. Burung itu masuk ke dalam rimbun dedaunan. Selang beberapa menit keluar, dan terbang kembali.

Rasa penasaran terbersit untuk melihat sarangnya di sana. Tapi kupikir, mungkin perlu dibiarkan Dara merupakan bagian dari pelengkap indah Alam ini. Hampir setiap hari, setiap sore burung itu datang dan pergi dari pohon tersebut.

Lain cerita sore itu, Aku kaget saat melihat burung itu tergeletak di bawah pohon. Berusaha terbang meraih dahan namun sebelah sayapnya tidak kuasa mengepak. Hanya nampak Bercak darah menodai bulu putihnya.

“Sepertinya burung ini tertembak oleh pemburu.” Ucapku sambil mencoba memegang burung itu, meskipun berusaha menghindar tetap saja tak bisa terbang. Aku bawa ke dalam untuk diobati. Saat diperiksa memang sayap kirinya patah.

Masalah patah tulang, bisa aku tangani sendiri berbekal kemampuan di bangku kuliah. Alasan menggeluti bidang Kedokteran, hakikatnya karena seorang Dokter adalah penolong, itu yang aku mau. Terlebih desa ini sangat minim ahli medis. Insaallah baktiku akan bermanfaat.

Setelah diobati, kuberikan kayu penopang untuk sayap patahnya. Burung ini tidak akan bisa terbang dalam beberapa minggu. Aku pikir, lalu bagaimana dengan sarangnya ? mungkinkah dia memiliki telur yang perlu dierami, atau anaknya yang perlu disuapi?

Aku panjat pohon itu untuk melihat sarangnya. Dan meminta Mang Aep mengambilkan sangkar. Dia adalah tukang kebun kami. Sementara induk burung itu diurusnya. Aku mengambil sebuah sarang burung cukup besar dengan tiga ekor bayi burung masih merah, berusia sekitar satu minggu.

Kuperhatikan ada yang aneh pada material sarang burung dara ini, sesuatu terselip-selip dalam ragkaian sarangnya. Seperti kertas, ada banyak carik kertas yang dilinting dan dilipat. Mana bisa seekor burung membuat lintingan kertas seperti ini? Logika berkata mungkin seseorang berbaik hati membuatkan ini.

Aku tanyakan sama Mang Aep, “Mang sebelumnya tau gak, ada burung Dara bikin sangkar di sini?”

“Oh, teu apal emang mah, Jang.” Mang Aep bilang tidak tahu jika burung ini bersarang di pohon mangga kami.

Di pikir-pikir tidak mungkin jika keluargaku melakukan hal konyol seperti ini. Ya sudah, Aku kumpulkan beberapa carik kertas yang sudah tercampur kotoran burung. Aku masukan anak burung itu dengan induknya. Sangkarnya kugantung di beranda loteng.

“ini apaan ya? Hemm...” aku angkat satu persatu, kukumpulkan lintingan kertas itu.

Di kamar kubuka lintingannya, ada serangkaian kata dibubuhi tanggal setiap kertas, semacam Diary singkat. Dari gaya tulisan disurat oleh orang sama. Ini aneh, Logika berkata “Mungkin sebelum burung itu membuat sarang disini, dia pernah  tinggal di suatu tempat atau dipelihara seseorang.”

Aku pikir pemeliharanya ingin menyampaikan pesan pada seseorang. Namun burung ini tidak bisa menyampaikannya. Kemudian ia jadikan sebagai sarang, sejauh itu analisa logis dariku. Menjelang malam, aku urutkan sesuai tanggal tertulis pada kertas itu. Agar mudah dibaca tulisan ini dari awal. Tulisanan cukup rapi, meskipun kertasnya sudah lusuh.

29 Januari 2012
“Dara, mengapa kamu begitu suka bertengger di jendelaku? apakah kamu ingin berteman? Kalau begitu carikan aku teman juga, titip pesan ini padanya yaa... kamu yang membaca pesan ini, bisa kah kita berteman? siapa namamu?

Aku lirik kalender lipat di meja belajar “Ya Ampun, surat ini ditulis sejak 2 tahun yang lalu.”  Klasik sekali di era secanggih ini masih saja ada orang mengirim surat lewat merpati. Aku baca lagi satu per satu surat yang lain.

20 Februari 2012
“Aku senang kamu mampir kemari lagi. Meskipun tidak ada surat kembali. Katakan hanya ingin dunia tahu, bahwa aku tidak bisa sebebas dirimu dara. Hari-hariku terpenjara dalam sepi, tanpa daya dan upaya, hanya bisa ditorehkan lewat kertas. Sampaikan saja Dara, aku disini, ada.”

Ini lebih dari sebuah surat, setiap bait katannya lebih merujuk pada catatan hati seseorang, Diary. Selanjutnya kubaca terus carahan hati orang ini.

13 Maret 2012
“Terima Kasih Dara telah kembali. Sudahkah kamu beritahu Dunia? Menembus Cakrawala, bahwa inilah aku. Kandis Gadis tuna wicara, hanya mampu menyurat jeritan hati pada kertas ini. Masin sendiri, tanpa sahabat, di balik kamar berdinding kayu aku terisolasi Dunia. Bertahun-tahun terduduk-terbaring-terduduk kembali. Dara, hanya keluh yang bisa kutulis, saat syukur pahit rasanya di batas perberbedaan. Sampaikan dukaku Dara ....”

4 April 2012
“Dara, bertahun-tahun terlewatkan masa dimana seharusnya aku bisa bermain, canda, tawa, melewati masa remaja seperti yang lain. Tapi, sejak Tuhan mengambil separuh kebahagiaanku, sudah suratan bahwa tak mungkin melangkah lagi. Saat langkah menjadi jalan kebahagiaan. Aku Tak Mau menyalahkan Tuhan, tapi aku mau Tuhan Adil. Aku sudah tidak tahu harus bagaimana Dara, dibiarkan seperti ini, bertahun-tahun, diabaikan, dijauhi, dan disembunyikan dari Dunia.”

Aku kurang paham maksud surat-surat ini, namun sepertinya orang yang menulis surat ini begitu menyedihkan. Kesimpulannya bahwa penulis surat ini adalah seorang wanita. Karena rasa penasaran teramat tinggi, hingga larut malam pun terus kubaca tulisan misterius ini.

22 Mei 2012
“Kamu kembali Dara, kali ini maukah kamu sampaikan betapa kecewa dan marahnya aku. Andai saja tidak terlambat ditangani, mungkin tidak akan seperti ini. Aku marah mengapa orang tua tidak bisa memberikan paramedis untuk menolongku, kecewa saat kemiskinan ini membunuh sedikit demi sedikit. Hidup seperti Mati !!. Setitik keyakin Tuhan pasti mengembalikan kebahagiaanku. Saat kaki mampu berpijak, saat tubuh tegak berdiri, saat nyanyian mengiringi hari.”

19 Juni 2012
"Dara, jangan bosan jika aku terus menitip surat ini untuknya. Dia yang ada diluar sana. Iya Kamu ! apakah aku orang paling menderita di dunia ini ? mungkin tidak. Mungkin kesempatan saja yang belum mendatangiku, namun kapan datangnya? kesempatan bertemu seseorang. Yang ingin menemuiku. Menjadi teman. Aku masih beruntung bisa menceritakan tulisan-tulisan konyol ini, yang entah didengar atau tidak. Bahkan tak yakin akan sampai pada seseorang di sana. Biar Takdir Ilahi yang menuntun surat ini."

14 Juli 2012
"Masih terbaring, tak berdaya Dara. Aku tidak mengerti bagaimana carannya pulih. ketahuilah, aku masih ada. Mama... Papa... biarkan orang lain tahu, bukan Aib. Aku gadis Sajang Hurip yang bahkan warga Desa tidak tahu, keberadaanku. Karena seperti inilah, Dibiarkan bertahun-tahun terbaring. Terpojok karena ke kemiskinan. Jangankan pergi ke Dokter. Aku hanya berdoa, agar bisa pulih seperti sebagaimana gadis semestinya. Dan kamu bisa menolong."


7 Agustus 2012
"Setelah 7 tahun baru aku ingin menulis. Jika aku diam. Bisa gila. Gadis lincah dulu, itu sudah tiada. Sekarang hanya seperti mayat hidup bungkuk dan siapapun pasti tidak mau melihat. kamu yang membaca surat ini, tolonglah. Aku tidak mau seperti ini, terbaring, menggeram, menangis, tak berarti."

11 September 2012
"Masih di hari-hari seperti biasa. Dara. Aku memandang langit biru itu dari jendela kamar. Andai aku sendiri yang terbang, bersama-mu. Dara ... oh ... Dara... sudah 9 bulan menulis surat ini, kamu kembali dengan cakar yang kosong, mencoba sabar menanti balasan. Aku menunggu... kamu... kamu... atau kamu ... yang ingin menjadi teman. Satu hal besar yang kutahu, tidak ada kesepian jika kamu kembali padaku, Dara. Terimakasih mau mengantarkan guratan pena-pena ini padanya."

Mataku terbius, untuk menghayati setiap carik kertas. Tapi aku bisa merasakan dengan hati bagaimana, perasaan wanita itu sekarang. Kini benar-benar mataku semakin berat karena kantuk  kemudian terlelap begitu saja diatas meja.

***


Waktu menunjukan pukul tiga pagi, suara Adzan subuh awal terdengar. Itu yang terakhir aku ingat, aku membaca surat ini hingga tertidur. Dan terperanjat bangun karena sangkar burung ini terjatuh. Setelah mengambil air wudhu, sembari menunggu salat subuh aku salat malam dua rakaat dahulu. Berdoa untuk wanita yang menulis surat itu.

Dan memohon petunjuk untuk membuka sedikit misteri surat aneh itu. Apa mungkin ini hanya kebetulan saja. Tiba-tiba, burung dalam sangkar yang kuletakan diatas meja mengepak-ngebapak sayapnya, mencoba berontak.  Membuat kertas-kertas diatas meja tadi beterbangan ke lantai.

“yaahh, berantankan lagi deh.” Aku bangkit dari sejadah setelah selesai salat subuh.

Saat memunguti kertas-kertas berjatuhan itu. Ada hal yang membuatku tercengang. Di balik setiap kertas itu tertulis sebuah huruf. Beberapa kertas yang terbalik nampak tersusun berderet menjadi satu kata.

10 Feb 2015

Cerpen : "Bukan Senja Begini" by IrfanMuse

Cerpen : "Bukan Senja Begini"
Karya : Irfan Mustofa

[prolog]
...sama sekali tidak terasa hamparan halus di telapak kaki. Sayangnya cakrawala tetap membiarkan lembayung tenggelam untuk sembunyi. Kesekian kalinya angin berbisik, tempatku bukan disini. Perlahan semua meredup ditelan malam kelam gelap hitam.



***

Suara peluit itu memekakkan telinga, dan kelopak mata terbuka. 10 menit sudah tadi terpejam. Karena tidak mau ketinggalan keberangkatan, sengaja menunggu dari subuh duduk di kursi besi ini. Aku cek tiket tertulis Peron 7 jam 05.40 WIB dan kode tempat duduk. Akhirnya, terlihat dari kejauhan dua mata bersinar menerobos gelap dan semakin mendekat.
“Nah, itu dia keretanya!” aku berdiri.

Saat menaiki KA Malabar perasaan aneh tak menentu, sedikit resah. Mungkin karena ini untuk pertama kalinya aku naik kereta cukup jauh. Jika membahas tujuanku mengingatkan pada lagu anak-anak. Setelah menyusuri deretan kursi, beruntung aku mendapat tempat duduk dekat dengan kaca. Mungkin juga mimpi sekejap tadi yang agak mengerikan. Namun, mimpi yang ini akan indah kayaknya.
Lima tahun lalu 7Ranger, gang bentukan dari dunia maya pernah berikrar, “2020 kita harus bertemu di Bali!”. Pada tanggal yang telah ditentukan kita harus menabung dan kopi darat di pulau Dewata. Impian bertemu di Bali akan terwujud.

Berasal dari berbagai daerah, dari Tanah Rencong, Batam, Palembang, Tanah Borneo, dari kota hujan, dan Lombok juga ada, sendiri aku dari Bandung. Persahabatan unik terjalin karena sebuah komunikasi dan konflik yang terus mendewasakan. Meskipun jarak memisahkan, perlahan timbul rasa kepercayaan layaknya bersahabat di dunia nyata. Jika dikisahkan, ceritanya tidak pernah cukup satu cerpen saja.

“Ping!!!” bunyi bbm-ku dari salah satu Ranger, itu sebutan setiap member gang konyol kami.

“Oii, Droen udah berangkat?” pesan Arief muncul. (droen itu kamu dalam bahasa Aceh)

“Iye, Rief. Gua baru aja duduk manis di kereta” pesanku Deliver lalu jadi Read.

Tak lama dia balas “oke, gua, Syam, dan Leo mau transit di Jakarta pakai pesawat, nanti tak kabari jika tiba” dialek khasnya tetap sama dalam chat.

Resa hati mulai sirna, takluk oleh semangat antusias untuk menemui mereka.Dalam hati aku berdoa, “Ya
Allah izinkan aku bertemu dengan mereka.Bismillah.” Perjalanan ini memakan waktu sekitar 10 jam. Tak lama diam, ponsel bergetar lagi.

Satu sms masuk, “Ka Irfan, Aku mau ke Jakarta transit bareng sama gank Sumatera.” Ini dari Pian Si Orang Bogor salah satu ranger termuda sebelum Irwan orang Lombok.

Tidak lupa mengabari dulu Goo untuk bertemu di Surabaya, karena dia datang dari Banjarmasin pasti singgah dulu di Tanjung Perak. Dua jam, tiga jam, lima jam berlalu bosan juga duduk-tidur-duduk di kereta. Papan hijau besar sempat terlewati, bertuliskan Kota Malang.

“Loh, kok, berhenti di Stasiun Malang?”

Setelah bertanya pada petugas, ternyata aku salah pilih kereta. Seharusnya menaiki KA Pasundan yang langsung ke Surabaya. Namun beliau mencoba memberi solusi, katanya aku bisa menaiki KA Tawang Alun menuju ke Stasiun Banyuwangi. Akan tiba satu jam lagi. Aku pikir benar juga, dari Banyuwangi kan bisa nyebrang sampai ke pelabuhan Gilimanuk. Lalu sampai di Bali.

Aku kabari Goo lagi, agar tidak perlu menunggu di Stasiun Gubeng Surabaya dan tunggu saja di Gilimanuk pukul 3 sore. Satu jam menunggu akhirnya singgah di kereta lain. Meskipun nampak tua dan agak bergoncang, kereta ini mampu meluncur cepat.

Sirine kereta dibunyikan nyaring panjang. Decit gesekan rel kereta juga terdengar ngilu di telinga membuatku pusing. Sempat terdengar suara goncangan dan hantaman, tapi kuabaikan. Kereta terus melaju cepat. Dengan volume tinggi, rasa jenuh hilang dengan irama musik favorit. Cukup Earphone di telinga menikmati perjalanan ini. Melihat ke jendela, sepertinya kereta melewati pusat kota, dari sirine yang di bunyikkan dari jauh akan melewati persimpangan rel dan jalan raya. Kenapa harus dari jauh ya?.
***

Turun dari kapal Ferry di pelabuhan Gilimanuk, mereka melihat ke arah aku bersama rombongan penumpang kapal. Menyaksikan raut wajah para Rangers begitu tidak senang. Mimik muka kecewa dan sedih tergurat jelas diantaranya juga nampak marah.

Bagaimana tidak marah, aku benar-benar terlambat. Seharusnya tiba pukul 3 sore. Ini malah, jam tangan menunjukan 17:00. Mereka berenam berlalu begitu saja. Tidak ada kata sambutan. Dan riuh sapaan layaknya Kopi Darat pertama. Dalam hati, “sepertinya mereka sangat kecewa.”

Sepanjang jalan menuju hotel, sindiran terus terlontarkan. Padahal aku tepat berada di belakang mereka.

Syam bilang, “Harusnya kita gak perlu ajak dia! Kemana aja sih? Rusak plan kita aja.”

‘Dia’ yang dia maksud pasti aku. Sudah ribuan maaf mengekor dengan alasannya. Namun, mereka berenam bersikap dingin, dan acuh. Tidak ada yang menanggapi. Ini bukan impian liburan yang aku harapkan. Diabaikan.

Singkat cerita, kami menikmati sunset di Pantai Kuta. Saling melempar pasir. Kejar-kejaran. Menendang ombak. Dan hal-hal menyenangkan lain yang dilakukan di Pantai. Sudah beberapa jam, tapi satu pun diantara mereka belum ada yang mau bicara padaku. Tak apalah, yang penting melihat mereka bersenang-senang aku turut senang.

“Irfaaaaaaannn!!! Kau menyebalkan,” dengan logat Palembangnya Leo teriak ke arah laut.

“Iiikkkhh... Si Rangers Ungu bikin kita gendok deh, hari ini,” keluh Goo membuatku agak geram.

Daripada mendengar mereka menggerutu. Aku memilih kembali ke kamar hotel. Ingin rasanya marah juga sama mereka. Tapi, mending menenangkan diri dari jetlag sambil rebahan di sofa. Tak lama semua kembali dengan pakaian semi basah. Irwan menyalakan televisi, sambil menunggu giliran mandi. Telunjuk Irwan terus memijit-mijit tobol remote.

“Mana ada acara seru jam segini, kalau bukan sinetron murahan kesukaan lo. Udik baru lepas maggrib udah nyalain TV!” umpatku sedikit mengiris. Aku kira bisa menarik perhatian mereka, ternyata tidak.

“Eh, Eh, Wan ! coba lu kembalikan lagi ke chanel sebelumnya,” kata Syam sambil menepuk bahu Irwan.
Lalu Irwan, memencet tombol kembali. Sehingga muncul seorang wanita, dengan air muka serius mengabarkan sebuah berita. Tertulis besar di bawah layar headline berita, Breaking News.

Suara TV: “Satu lagi duka datang dari dunia perkeretaan Indonesia. Akibat sebuah Tangki Pertamina menerobos perlintasan Rel Kereta Api....”

“GOO!! Cepat Kemari!!” Teriak Syam panik.

“Ada apa Syam? Bikin telinga budek aja,” timpal Goo.

“Bukan saatnya bercanda. Irfan tadi naik kereta apa? Jam berapa?” Mimik Syam begitu serius.

“KA Tawang Alun, dari Malang. Sekitar jam 2 siang. Kenapa ?”

Suara TV: “ ... Kereta dari arah Malang menabrak dan terguling, beberapa gerbong turut terbakar. Sehingga menelan beberapa korban. Musibah ini menambah deret panjang kecelakaan kereta di Indonesia.”

”Jangan-jangan?” serentak kaget Irwan, Goo, dan Syam, mereka saling pandangan lalu mengangkat telpon masing-masing. Mengabari seseorang.

“Irfan!! Fan!! Angkat Fan! Lo dimana?” teriak Syam panik.

“Nomor Irfan gak aktif bang Syam,” Timpal Irwan.

Apa-apaan mereka? aku kebingungan, “Gua disini guys?! Hei!” mencoba menyentuh mereka, namun terlewat begitu saja. Aku tangkap, tidak bisa. Telapak tangan kuarahkan pada lampu neon, cahayanya bisa menembus merawang telapak.

“Jadi, aku ini apa? Aku... ” saat melihat cermin, refleksi diri tidak nampak sama sekali.

***

Sepanjang pantai berbiaskan oranye sunset. Kuratapi takdir Tuhan, karena Bukan Senja Begini yang sama sekali aku harapkan. Namun, Sang Maha Kuasa sudah mengizinkan sempat melihat mereka yang ingin aku temui. Terisak namun tak berair, hanya tatapan kosong dari sebuah jiwa penasaran. Kakiku melangkah hampa namun... [sambungan ke awal cerita - prolog]


Sebelumnya Pelabuhan Gilimanuk.

“Dimana sih Irfan? Sudah 2 jam nih, kita orang nunggu,” tanya Leo mulai bosan.

“Tunggu sebentar lagi, dia pasti datang di kapal terakhir itu,” Ucap Arief menenangkan.

“Bang, Handphone dia gak aktif,” Irwan bersuara, setelah sejak tadi sibuk menelpon.

Kapal Fery terakhir merapat ke dermaga.

“Tidak ada kak,” ucap Pian terdengar sedih melihat rombongan penumpang turun.

“Kayaknya Irfan gak datang hari ini. Mungkin dia tiba besok,” kata Syam lebih dewasa.

“Ya sudah, mari kita ke Hotel,” timpal Goo lemas.
***

[epilog]
Kereta.
Aku mendengar hantaman, lalu kereta berguncang keras. Namun hanya dentuman kerasnya musik rock di telinga. Masih tidak terpengaruh, kini sebuah ledakan terdengar. Kepanikan terjadi, kereta semakin berguncang keras. Baru aku sadar ada yang tidak beres. Citra terakhir yang muncul, saat kereta terguling kemudian pecahan kaca menghujam wajah.

Astagfirlohal’adzim, mataku terbelalak dengan keringat dingin bercucuran. Suara peluit seorang petugas stasiun membuatku terhentak bangun. Dalam tidur sekejap itu. Istigfar terus kupanjat sambil mengusap wajah, dan meludah ke kiri tiga kali. Mimpi buruk.