16 Feb 2015

Cerbung : "Diary Bersayap" - Part 2 - By Irfanmuse

Cerpen Part 2
Judul : Diary Bersayap : Petunjuk
Karya : Irfan Mustofa


“K-A-N-D-I-S, Kandis ?” termenung sejenak karena sebelumnya pernah membaca nama itu.

”Subhanallah, ini nama penulis surat itu” aku mengecek kembali setiap kertas itu.

“Iya, tepat sekali, nama dia tertulis di surat tanggal 13 Maret 2012. Kenapa aku baru ngeh ya?” mungkin karena kantuk, tidak teliti membacanya. Setelah dicermati dapatlah sebuah Informasi, yaitu Kandis dari Desa Sajanghurip. Wanita penulis surat-surat ini.

***

Surya yang muncul dari balik pegunungan, menepis kabut pagi. Bulir-bulir embun pada padi, berkilauan saat disinari. Tapi pagiku dimulai di kandang sapi membantu Ayah, dan adiknya membersihkan, memberi makan, dan memeras susu sapi segar. Kami berbincang mengenai banyak hal termasuk kuliah di Bandung, cerita juga Burung Dara yang kurawat karena luka. Sampai di ujung obrolan kutanyakan sesuatu karena habis bahan obrolan.

“Kang Agus, tau desa sajang hurip gak?” tanyaku pada paman.

“Desa Sajang hurip asa pernah dengar.” Sambil mengerutkan dahi.

“Eta mah, ada di sana, tuh di balik bukit itu ?” Ayah ikut menjawab menunjukan sebuah bukit disebelah barat desa kami.

“Oh Enya bener eta, Sajanghurip mah lumayan jauh.” Kata Mang Agus membenarkan.

“Oh kitu, tapi kalo pake pick up Bapakkan gak akan jauh. Mungkin.” Sanggahku, pada Ayah. Yang biasa aku panggil Bapak kalau dirumah.

“Iya bapak pernah nganteran sayur kaditu, tapi mau ngapain kesana, Nu ?”

“Euump...” dalam benak mana mungkin bicara soal mencari sosok wanita bernama Kandis itu, dalam hati tekad masih ragu juga untuk menemuinya. Semua hal kebetulan abstrak ini akan sulit dipahami Bapak. Maka terbesit olehku cara aman untuk memberitahunya.

“Danu, mau cari teman pak, katanya satu daerah, tapi dia bilangnya orang sajang hurip.”

“Temen Kampus?”

“Heem...” aku iyakan dulu saja, sembari mengumpulkan keyakinan hingga siap untuk mencarinya.

Lelahnya pagi ini, jam tanganku menunjukan pukul 8. Ibu sudah memanggil kami untuk sarapan. Meskipun orang desa, perlu kusyukuri karena hidup di tengah keluarga berkecukupan, kami memiliki ternak sapi, kebun, dan sawah yang luas. Sebagai putra sematang wayang aku akan mewarisi semuanya. Namun mereka tak pernah memaksa aku untuk menjadi petani atau peternak. Dukungan selalu mengalir akan pilihanku.

Setelah sarapan aku naik ke kamar. Membawakan sekepal jagung kering untuk merpati itu. Ia mematuknya dengan lahap. Makan sendiri tanpa memperdulikan anaknya. Selang beberapa saat, burung kulihat tersedak. Kepalanya menghadap ke atas, paruh terbuka. Seperti akan memuntahkan kembali makanannya. Baru pertama kali aku lihat burung mau tersedak. Konyol sekali.

“Nah, ini akibatnya. Makan rakus, lupa sama bayi-bayi burungmu.” ucapku sesumbar sambil mendekatkan air pada burung itu.

Diluar dugaan, ternyata burung itu bukan sedang tersedak. Melainkan sengaja mengeluarkan kembali makanan, dari paruh ia suapi anaknya. Aku menyaksikan secara Live bagaimana seekor induk burung dengan sayang memberi makan anaknya. Oh, manisnya, malu sendiri sudah sesumbar. Nuansa itu agak terganggu oleh dering handphoneku.

“Halo, assalamualaikum”

“Walaikum salam, Aa?” terdengar suara perempuan. “Aa, iihh kemana aja? dari pagi aku sms, ditelpon juga gak diangkat terus.” Kesalnya bernada cemas.

“Aiiihh... yang lagi kangen, hehehe” sahutku tertawa kecil.

“Ih, kang Danu mah? udah seminggu gak ngasih kabar, huuh, mentang-mentang libur. Libur juga sama Aila! tadi pagi dimana?” tanya pacarku bertubi-tubi, begitulah caranya jika lagi ngomel. Andai bisa kulihat wajahnya gemas sekali kalau lagi cemas. Sudah 8 bulan kami jadian.

“Neng, tadi Aa lagi di kandang...”

“Ih ngapain?” potong dia sebelum mendengar kalimatku utuh.

“Lagi, ngawinin sapi !” -_-

“Idiihh.. jadi ilpil euy.” Sahut candanya.

“Eh, dengerin dulu makanya jangan main potong aja...”

“Iya, ini Neng dengerin.” Potongnya lagi.

“Nah itu, motong lagi ! hehe jadi tadi pagi itu...” aku diam hingga lima detik lamanya.

“Apa? kok diem?”

“Tuh, itu motong lagi. hahaha” Candaku.

“Ih, si Aa nyebelin.” Gemasnya.

“Hahaha” ngengenin rasanya kalau dengar suara Aila “tadi pagi Aa lagi di kandang sapi bantuin Bapak. Ya gak bawa hapelah, ntar nyemplung kan gawat ! bukan seminggu lagi Aa gak bisa ngabarin Eneng, tapi selama libur semester jadinya. hehe” jelas apa adanya.

“Ohh hehe, iya gawat banget itu mah. Sayang, Aila kangen ih.”

Teringat kembali perjumpaan pertama saat Ospek Kampus, aku datang dari Desa dan begitu kuper, tapi cuma Aila yang suka membantu. Bahkan setelah dia berpisah masuk Jurusan Farmasi dan aku di Kedokteran. Kami tetap sering bertemu saat pulang dengan angkot. Kebetulan jalan kerumah Aila searah dengan tempat Kost-anku.

Pertemuan sering itulah membuat kita saling mengenal, sampai bunga hati ini bermekaran, Memang bukan pertemuan yang romantis. Bagiku Cinta itu Kangker, tertanam dan meluas sedikit demi sedikit. Tapi kata Aila, cuma satu obatnya. Sikapi dengan Hati.

“A Danu juga kangen, Neng.”

“A, lagi apa ? sudah makan?” pertanyaan standar pasangan kalau di telpon.

“Sudah, ini lagi nonton burung dara makan“ kujawab seadanya.

“Gada kerjaan, hem, gak nanya balik?”

“Nanya apa?”

“Selalu, A’Danu mah gak peka, Au ah...” diam sejenak lalu “Eh, A ! kemarin malam neng mimpi aneh loh” berganti topik.

“Aneh gimana? ”

“Gak tau, Aila mimpi ada di sebuah bukit, malam-malam, ngeliatin bulan, indaaaaah banget.” Keterangan Aila membuatku terpaku, kita bermimpi sama? Hanya beda posisi, aku pikir mungkin mimpi itu terbangun karena kami saling rindu.

“Halo A ?”

“Oh, iya halo, ada sepeda gak?”

“Iya! kok tau? Neng naik sepeda ke desa, dan itu asing banget.”

“Hehe nebak aja. Tapi kayak senitron yaahh. haha” dalam hati, ini benar-benar aneh, mungkin kami ditakdirkan berjodoh.

“Heem... Neng tutup dulu ya, Mau MAKAN! Itu yang tadi gak ditanyain ke Aila. Hih !” jelasnya sedikit kesal karena direspon singkat, tapi aku yakin itu bukan rasa kesal tapi sekedar luapan rasa rindu.

“Iya, Neng, makan yang banyak yaa. Makasih udah nelpon, Danu selalu sayang Aila,” kalimat penutup itu semoga mencairkan hatinya.

“Ooww.. iya Aila juga. hehe” Jawabnya. Lalu suara dia menghilang.

Perasaanku menjadi lebih baik setelah mendengar suara Aila. Siang ini, masih banyak tugas, bersama Mang Aep dan Kang Agus akan memantau perkebunan Sawi dan Kubis yang sedang panen.
***


“Nona, sedang apa kamu sendirian disini ?” wanita itu seketika kaget, hingga menjatuhkan buku yang dia pegang ....

Aku angkat buku itu, lalu berteriak “Nona !! ini milik anda, jatuh disini !!”

Dari kejauhan wanita itu menoleh, aku tidak bisa melihat wajahnya, rambutnya saat itu menutup, dia terus menggowes sepeda hingga jauh, dari atas bukit ini aku bisa melihat lampu-lampu rumah dari kejauhan, dan wanita itu menuju ke sana.

Misterius, satu kata untuk dia. Rasa penasaran aku buka halaman pertama ada satu kata, sebuah nama tertulis dengan tinta tebal berwarna hitam.

“Kandis Kanditasari.” Lalu saat kubuka lembaran lainnya ada satu kalimat “Tolonglah, aku butuh kamu.”

Aku terbangun oleh Adzan Subuh melantang dari Masjid seberang rumah. Ini mimpi yang sama. Bukan sekedar bunga tidur, atau sugesti rindu menggebu. Ada petunjuk bahwa aku harus menemui wanita yang menulis surat-surat itu.

Awalnya aku tidak bisa menerima hal-hal diluar logika seperti ini. Benar apa kata Ibu, Bisa jadi ini pentunjuk dari Tuhan, semalam aku shalat Istikharah untuk mencari jawaban atas misteri yang mengusik pikiran. Misteri akan diary itu.

Benar adanya, seseorang disana membutuhkan bantuan. Kebetulan ini? Entahlah, tapi ini seperti skenario yang epic dari Sang Ilahi. Tekadku sekarang sudah bulat

“Aku akan mencari dia !”

***


Pagi hari aku bergegas pergi ke desa itu, dengan alasan menemui teman yang diceritakan kemarin. Akhirnya Bapak mengizinkan, Mang Agus mengantarku ke Desa Sajang Hurip menggunakan mobil Pick Up. Mempuh 3 jam hingga sampai. Namun jika hujan tiba waktu tempuh bisa lebih dari itu, tentu saja, jalan terjal dan berbatu membuat jalur akan sulit dilalui. Syukurlah semesta mendukung untuk hal ini.

“Kang Agus, sekarang balik aja, nanti Danu kabari kalau mau pulang.”

“Yang bener, Nu ? terus yang mana rumah Teman Kampus Danu itu.?”

“Ada di sekitar sini kok, Kang. Gampanglah nanti Danu kan bisa tanya-tanya” jelas aku menenangkan, meskipun ada bumbu kebohongan saat itu.

Aku pandangi mobil pick up yang biasa mengantar sayur itu, berbalik arah kemudian pergi. Hanya berbekalkan sebuah nama, “Kandis Kanditasari” jika tidak salah itu yang kuingat. Pencarian akan dimulai di Kantor Kepala Desa. Pasti bisa dapat Informasi tentang alamat rumahnya.

Aku bertanya kesana kemari tentang letak Kelurahan setempat. Kebetulan di jalan bertemu seorang wanita yang akan kesana juga. Suasana kantor cukup ramai dengan pegawai dan beberapa warga sibuk mengurus arsip mereka masing-masing.

“Apakah ada wanita bernama Kandis di Desa ini, Pak ?” akhirnya pertanyaan ini terlontar, setelah sekian menit berbincang dengan petugas lurah yang melayani. Karena sebelumnya harus kuceritakan darimana asal dan tujuan ke desa ini.

“Kandis? Di Desa ini banyak yang namanya Kandis. Memangnya ada perlu apa bapak mencari warga ini?” Jawab formal Pak Sabdo Aji, itu yang kubaca di nametag-nya.

“Sebelumnya saya sudah tahu Kandis mana yang akan ditemui, namun orang tua saya tidak tahu detail alamat ke mana bisa mengantarkan Undangan ini, agar sampai pada orang bersangkutan.” Alasan sudah kusiapkan untuk mendapatkan informasi tempat tinggalnya, mungkin dengan menunjukan sebuah Amplop, bisa terlihat meyakinkan.

“Oh begitu. Baiklah, bapak tunggu disini.”


---

Bersambung...
Cerbung : "Diary Bersayap" - Part 3 - By Irfanmuse

0 komentar:

Posting Komentar

"aku sangat senang bila anda dapat meninggalkan komentar disini"