Cerpen
Judul : Diary Bersayap - Part 1
Karya : Irfan Mustofa
Entah ada dimana sekarang? Didepan mata hanya sebatang pohon berdiri di punggung bukit bak lilin di atas cupcake, dalam temaram gelap remang cahaya menembus saat bulan mengintip di balik awan, dari bawah bukit aku picing ke atas. Seseorang nampak berdiri, siluet seperti wanita memakai longdress.
Apa yang dilakukan dia? Berdiri tengadah menatap bulan, seakan mengajaknya berbincang. Dari belakang nampak rambutnya terurai hingga sebahu ia biarkan angin memainkan. Sebuah buku tebal digenggaman tangan kanannya. Dan satu sepeda tersandar di pohon itu.
Rasa penasaran menyeruak, inginku menghampiri dia, tetapi rasa takut juga hinggap mengingat sesosok wanita berambut cukup panjang berdiri di bawah pohon di malam selarut ini, tak bisa dipastikan kakinya menapak, tidak dari bawah sini, naluri lelakiku berontak agar melihatnya dari dekat.
Setelah mendekat beberapa meter, longdress warna merah jambu terlihat setelah siluet hitam tubuhnya memudar, kuberanikan bersuara “Nona, sedang apa kamu sendirian disini ?” wanita itu seketika kaget, hingga menjatuhkan buku yang dipegangnya, sejak tadi ternyata dia melamun terhipnotis purnama, tanpa sepatah kata pun dia langsung pergi menaiki sepedanya, meluncur menuruni bukit.
Jangankan menyapa, wajahnya pun tak sempat aku pandang dengan seksama, cahaya bulan begitu pelit untuk menerangi, bahkan angin sekongkol meniup-niup rambutnya sampai menutupi mata.
Apa yang salah denganku? kenapa dia langsung pergi begitu saja, sedikit pun tak terbersit niat jahat.
Masih kupandang dia terus menggowes menjauhi bukit, tanpa menoleh sedikit pun. Di tanah aku melihat sesuatu, sebuah buku. Ini yang dia pegang tadi, langsung kuraih, angkat dan berteriak padanya “Nona ! ini milik anda, jatuh tertinggal disini !”
Dari kejauhan wanita itu menoleh, lagi-lagi angin masih asik dengan rambut hingga tidak mengizinkan melihat rona wajahnya, terus menggowes jauh semakin jauh. Dari atas bukit pemandangan acak lampu-lampu rumah dari kejauhan, wanita itu menuju kesana, ke sebuah pemukiman.
Dalam hati kata misterius layak disandangkan padanya. Saat aku buka buku itu, ada sebuah kata di halaman pertama, namanya adalah ...
Brruuukkkk ... prak pakk pakk pakk ...
Terdengar keras suara benda jatuh, dan kepakan sayap membuatku terperanjat bangun.
Saat mata terbuka, “Ya ampun, hanya mimpi. Bagaimana aku bisa tertidur disini” meregangkan tangan karena pegal menahan kepala di meja ini.
Melihat keluar jendela, sangkar burung Dara yang tadi sore aku tolong itu jatuh di balkon depan kamar tidur. Sengaja digantung di sana agar terpantau dari meja belajar tempatku duduk ini.
Sangkarnya terguling, aku geser pintu kaca dan keluar untuk mengeceknya. “Malang sekali burung-burung ini, padahal si induk sayapnya patah”, ternyata kail penggantungnya terlepas. Mungkin karena sangkar pemberian Mang Aep ini sudah rapuh. Gara-gara burung ini aku temukan sesuatu, sampai-sampai harus begadang dan terlelap di atas meja ini.
***
Hembusan angin senja, dengan manja memainkan lonceng angin yang tergantung di langit-langit. Duduk diberanda halaman belakang sambil memandangi hamparan sawah menghijau. Menikmati suasana yang kurindukan selama ini.
See Sight desa cukup untuk melayangkan penat saat kuliah di Kota. Pilihan tepat untuk libur semester di kampung halaman. Aku bisa merasakan kembali Alam sedang Berdzikir sore ini. Berseru “Nikmat Tuhan yang mana, yang kau dustakan?”
Sesuatu menarik perhatianku, saat seekor burung Dara berwarna putih melintas di langit. Lalu hinggap pada dahan pohon mangga. Burung itu masuk ke dalam rimbun dedaunan. Selang beberapa menit keluar, dan terbang kembali.
Rasa penasaran terbersit untuk melihat sarangnya di sana. Tapi kupikir, mungkin perlu dibiarkan Dara merupakan bagian dari pelengkap indah Alam ini. Hampir setiap hari, setiap sore burung itu datang dan pergi dari pohon tersebut.
Lain cerita sore itu, Aku kaget saat melihat burung itu tergeletak di bawah pohon. Berusaha terbang meraih dahan namun sebelah sayapnya tidak kuasa mengepak. Hanya nampak Bercak darah menodai bulu putihnya.
“Sepertinya burung ini tertembak oleh pemburu.” Ucapku sambil mencoba memegang burung itu, meskipun berusaha menghindar tetap saja tak bisa terbang. Aku bawa ke dalam untuk diobati. Saat diperiksa memang sayap kirinya patah.
Masalah patah tulang, bisa aku tangani sendiri berbekal kemampuan di bangku kuliah. Alasan menggeluti bidang Kedokteran, hakikatnya karena seorang Dokter adalah penolong, itu yang aku mau. Terlebih desa ini sangat minim ahli medis. Insaallah baktiku akan bermanfaat.
Setelah diobati, kuberikan kayu penopang untuk sayap patahnya. Burung ini tidak akan bisa terbang dalam beberapa minggu. Aku pikir, lalu bagaimana dengan sarangnya ? mungkinkah dia memiliki telur yang perlu dierami, atau anaknya yang perlu disuapi?
Aku panjat pohon itu untuk melihat sarangnya. Dan meminta Mang Aep mengambilkan sangkar. Dia adalah tukang kebun kami. Sementara induk burung itu diurusnya. Aku mengambil sebuah sarang burung cukup besar dengan tiga ekor bayi burung masih merah, berusia sekitar satu minggu.
Kuperhatikan ada yang aneh pada material sarang burung dara ini, sesuatu terselip-selip dalam ragkaian sarangnya. Seperti kertas, ada banyak carik kertas yang dilinting dan dilipat. Mana bisa seekor burung membuat lintingan kertas seperti ini? Logika berkata mungkin seseorang berbaik hati membuatkan ini.
Aku tanyakan sama Mang Aep, “Mang sebelumnya tau gak, ada burung Dara bikin sangkar di sini?”
“Oh, teu apal emang mah, Jang.” Mang Aep bilang tidak tahu jika burung ini bersarang di pohon mangga kami.
Di pikir-pikir tidak mungkin jika keluargaku melakukan hal konyol seperti ini. Ya sudah, Aku kumpulkan beberapa carik kertas yang sudah tercampur kotoran burung. Aku masukan anak burung itu dengan induknya. Sangkarnya kugantung di beranda loteng.
“ini apaan ya? Hemm...” aku angkat satu persatu, kukumpulkan lintingan kertas itu.
Di kamar kubuka lintingannya, ada serangkaian kata dibubuhi tanggal setiap kertas, semacam Diary singkat. Dari gaya tulisan disurat oleh orang sama. Ini aneh, Logika berkata “Mungkin sebelum burung itu membuat sarang disini, dia pernah tinggal di suatu tempat atau dipelihara seseorang.”
Aku pikir pemeliharanya ingin menyampaikan pesan pada seseorang. Namun burung ini tidak bisa menyampaikannya. Kemudian ia jadikan sebagai sarang, sejauh itu analisa logis dariku. Menjelang malam, aku urutkan sesuai tanggal tertulis pada kertas itu. Agar mudah dibaca tulisan ini dari awal. Tulisanan cukup rapi, meskipun kertasnya sudah lusuh.
29 Januari 2012
“Dara, mengapa kamu begitu suka bertengger di jendelaku? apakah kamu ingin berteman? Kalau begitu carikan aku teman juga, titip pesan ini padanya yaa... kamu yang membaca pesan ini, bisa kah kita berteman? siapa namamu?
Aku lirik kalender lipat di meja belajar “Ya Ampun, surat ini ditulis sejak 2 tahun yang lalu.” Klasik sekali di era secanggih ini masih saja ada orang mengirim surat lewat merpati. Aku baca lagi satu per satu surat yang lain.
20 Februari 2012
“Aku senang kamu mampir kemari lagi. Meskipun tidak ada surat kembali. Katakan hanya ingin dunia tahu, bahwa aku tidak bisa sebebas dirimu dara. Hari-hariku terpenjara dalam sepi, tanpa daya dan upaya, hanya bisa ditorehkan lewat kertas. Sampaikan saja Dara, aku disini, ada.”
Ini lebih dari sebuah surat, setiap bait katannya lebih merujuk pada catatan hati seseorang, Diary. Selanjutnya kubaca terus carahan hati orang ini.
13 Maret 2012
“Terima Kasih Dara telah kembali. Sudahkah kamu beritahu Dunia? Menembus Cakrawala, bahwa inilah aku. Kandis Gadis tuna wicara, hanya mampu menyurat jeritan hati pada kertas ini. Masin sendiri, tanpa sahabat, di balik kamar berdinding kayu aku terisolasi Dunia. Bertahun-tahun terduduk-terbaring-terduduk kembali. Dara, hanya keluh yang bisa kutulis, saat syukur pahit rasanya di batas perberbedaan. Sampaikan dukaku Dara ....”
4 April 2012
“Dara, bertahun-tahun terlewatkan masa dimana seharusnya aku bisa bermain, canda, tawa, melewati masa remaja seperti yang lain. Tapi, sejak Tuhan mengambil separuh kebahagiaanku, sudah suratan bahwa tak mungkin melangkah lagi. Saat langkah menjadi jalan kebahagiaan. Aku Tak Mau menyalahkan Tuhan, tapi aku mau Tuhan Adil. Aku sudah tidak tahu harus bagaimana Dara, dibiarkan seperti ini, bertahun-tahun, diabaikan, dijauhi, dan disembunyikan dari Dunia.”
Aku kurang paham maksud surat-surat ini, namun sepertinya orang yang menulis surat ini begitu menyedihkan. Kesimpulannya bahwa penulis surat ini adalah seorang wanita. Karena rasa penasaran teramat tinggi, hingga larut malam pun terus kubaca tulisan misterius ini.
22 Mei 2012
“Kamu kembali Dara, kali ini maukah kamu sampaikan betapa kecewa dan marahnya aku. Andai saja tidak terlambat ditangani, mungkin tidak akan seperti ini. Aku marah mengapa orang tua tidak bisa memberikan paramedis untuk menolongku, kecewa saat kemiskinan ini membunuh sedikit demi sedikit. Hidup seperti Mati !!. Setitik keyakin Tuhan pasti mengembalikan kebahagiaanku. Saat kaki mampu berpijak, saat tubuh tegak berdiri, saat nyanyian mengiringi hari.”
19 Juni 2012
"Dara, jangan bosan jika aku terus menitip surat ini untuknya. Dia yang ada diluar sana. Iya Kamu ! apakah aku orang paling menderita di dunia ini ? mungkin tidak. Mungkin kesempatan saja yang belum mendatangiku, namun kapan datangnya? kesempatan bertemu seseorang. Yang ingin menemuiku. Menjadi teman. Aku masih beruntung bisa menceritakan tulisan-tulisan konyol ini, yang entah didengar atau tidak. Bahkan tak yakin akan sampai pada seseorang di sana. Biar Takdir Ilahi yang menuntun surat ini."
14 Juli 2012
"Masih terbaring, tak berdaya Dara. Aku tidak mengerti bagaimana carannya pulih. ketahuilah, aku masih ada. Mama... Papa... biarkan orang lain tahu, bukan Aib. Aku gadis Sajang Hurip yang bahkan warga Desa tidak tahu, keberadaanku. Karena seperti inilah, Dibiarkan bertahun-tahun terbaring. Terpojok karena ke kemiskinan. Jangankan pergi ke Dokter. Aku hanya berdoa, agar bisa pulih seperti sebagaimana gadis semestinya. Dan kamu bisa menolong."
7 Agustus 2012
"Setelah 7 tahun baru aku ingin menulis. Jika aku diam. Bisa gila. Gadis lincah dulu, itu sudah tiada. Sekarang hanya seperti mayat hidup bungkuk dan siapapun pasti tidak mau melihat. kamu yang membaca surat ini, tolonglah. Aku tidak mau seperti ini, terbaring, menggeram, menangis, tak berarti."
11 September 2012
"Masih di hari-hari seperti biasa. Dara. Aku memandang langit biru itu dari jendela kamar. Andai aku sendiri yang terbang, bersama-mu. Dara ... oh ... Dara... sudah 9 bulan menulis surat ini, kamu kembali dengan cakar yang kosong, mencoba sabar menanti balasan. Aku menunggu... kamu... kamu... atau kamu ... yang ingin menjadi teman. Satu hal besar yang kutahu, tidak ada kesepian jika kamu kembali padaku, Dara. Terimakasih mau mengantarkan guratan pena-pena ini padanya."
Mataku terbius, untuk menghayati setiap carik kertas. Tapi aku bisa merasakan dengan hati bagaimana, perasaan wanita itu sekarang. Kini benar-benar mataku semakin berat karena kantuk kemudian terlelap begitu saja diatas meja.
***
Waktu menunjukan pukul tiga pagi, suara Adzan subuh awal terdengar. Itu yang terakhir aku ingat, aku membaca surat ini hingga tertidur. Dan terperanjat bangun karena sangkar burung ini terjatuh. Setelah mengambil air wudhu, sembari menunggu salat subuh aku salat malam dua rakaat dahulu. Berdoa untuk wanita yang menulis surat itu.
Dan memohon petunjuk untuk membuka sedikit misteri surat aneh itu. Apa mungkin ini hanya kebetulan saja. Tiba-tiba, burung dalam sangkar yang kuletakan diatas meja mengepak-ngebapak sayapnya, mencoba berontak. Membuat kertas-kertas diatas meja tadi beterbangan ke lantai.
“yaahh, berantankan lagi deh.” Aku bangkit dari sejadah setelah selesai salat subuh.
Saat memunguti kertas-kertas berjatuhan itu. Ada hal yang membuatku tercengang. Di balik setiap kertas itu tertulis sebuah huruf. Beberapa kertas yang terbalik nampak tersusun berderet menjadi satu kata.
Judul : Diary Bersayap - Part 1
Karya : Irfan Mustofa
Entah ada dimana sekarang? Didepan mata hanya sebatang pohon berdiri di punggung bukit bak lilin di atas cupcake, dalam temaram gelap remang cahaya menembus saat bulan mengintip di balik awan, dari bawah bukit aku picing ke atas. Seseorang nampak berdiri, siluet seperti wanita memakai longdress.
Apa yang dilakukan dia? Berdiri tengadah menatap bulan, seakan mengajaknya berbincang. Dari belakang nampak rambutnya terurai hingga sebahu ia biarkan angin memainkan. Sebuah buku tebal digenggaman tangan kanannya. Dan satu sepeda tersandar di pohon itu.
Rasa penasaran menyeruak, inginku menghampiri dia, tetapi rasa takut juga hinggap mengingat sesosok wanita berambut cukup panjang berdiri di bawah pohon di malam selarut ini, tak bisa dipastikan kakinya menapak, tidak dari bawah sini, naluri lelakiku berontak agar melihatnya dari dekat.
Setelah mendekat beberapa meter, longdress warna merah jambu terlihat setelah siluet hitam tubuhnya memudar, kuberanikan bersuara “Nona, sedang apa kamu sendirian disini ?” wanita itu seketika kaget, hingga menjatuhkan buku yang dipegangnya, sejak tadi ternyata dia melamun terhipnotis purnama, tanpa sepatah kata pun dia langsung pergi menaiki sepedanya, meluncur menuruni bukit.
Jangankan menyapa, wajahnya pun tak sempat aku pandang dengan seksama, cahaya bulan begitu pelit untuk menerangi, bahkan angin sekongkol meniup-niup rambutnya sampai menutupi mata.
Apa yang salah denganku? kenapa dia langsung pergi begitu saja, sedikit pun tak terbersit niat jahat.
Masih kupandang dia terus menggowes menjauhi bukit, tanpa menoleh sedikit pun. Di tanah aku melihat sesuatu, sebuah buku. Ini yang dia pegang tadi, langsung kuraih, angkat dan berteriak padanya “Nona ! ini milik anda, jatuh tertinggal disini !”
Dari kejauhan wanita itu menoleh, lagi-lagi angin masih asik dengan rambut hingga tidak mengizinkan melihat rona wajahnya, terus menggowes jauh semakin jauh. Dari atas bukit pemandangan acak lampu-lampu rumah dari kejauhan, wanita itu menuju kesana, ke sebuah pemukiman.
Dalam hati kata misterius layak disandangkan padanya. Saat aku buka buku itu, ada sebuah kata di halaman pertama, namanya adalah ...
Brruuukkkk ... prak pakk pakk pakk ...
Terdengar keras suara benda jatuh, dan kepakan sayap membuatku terperanjat bangun.
Saat mata terbuka, “Ya ampun, hanya mimpi. Bagaimana aku bisa tertidur disini” meregangkan tangan karena pegal menahan kepala di meja ini.
Melihat keluar jendela, sangkar burung Dara yang tadi sore aku tolong itu jatuh di balkon depan kamar tidur. Sengaja digantung di sana agar terpantau dari meja belajar tempatku duduk ini.
Sangkarnya terguling, aku geser pintu kaca dan keluar untuk mengeceknya. “Malang sekali burung-burung ini, padahal si induk sayapnya patah”, ternyata kail penggantungnya terlepas. Mungkin karena sangkar pemberian Mang Aep ini sudah rapuh. Gara-gara burung ini aku temukan sesuatu, sampai-sampai harus begadang dan terlelap di atas meja ini.
***
Hembusan angin senja, dengan manja memainkan lonceng angin yang tergantung di langit-langit. Duduk diberanda halaman belakang sambil memandangi hamparan sawah menghijau. Menikmati suasana yang kurindukan selama ini.
See Sight desa cukup untuk melayangkan penat saat kuliah di Kota. Pilihan tepat untuk libur semester di kampung halaman. Aku bisa merasakan kembali Alam sedang Berdzikir sore ini. Berseru “Nikmat Tuhan yang mana, yang kau dustakan?”
Sesuatu menarik perhatianku, saat seekor burung Dara berwarna putih melintas di langit. Lalu hinggap pada dahan pohon mangga. Burung itu masuk ke dalam rimbun dedaunan. Selang beberapa menit keluar, dan terbang kembali.
Rasa penasaran terbersit untuk melihat sarangnya di sana. Tapi kupikir, mungkin perlu dibiarkan Dara merupakan bagian dari pelengkap indah Alam ini. Hampir setiap hari, setiap sore burung itu datang dan pergi dari pohon tersebut.
Lain cerita sore itu, Aku kaget saat melihat burung itu tergeletak di bawah pohon. Berusaha terbang meraih dahan namun sebelah sayapnya tidak kuasa mengepak. Hanya nampak Bercak darah menodai bulu putihnya.
“Sepertinya burung ini tertembak oleh pemburu.” Ucapku sambil mencoba memegang burung itu, meskipun berusaha menghindar tetap saja tak bisa terbang. Aku bawa ke dalam untuk diobati. Saat diperiksa memang sayap kirinya patah.
Masalah patah tulang, bisa aku tangani sendiri berbekal kemampuan di bangku kuliah. Alasan menggeluti bidang Kedokteran, hakikatnya karena seorang Dokter adalah penolong, itu yang aku mau. Terlebih desa ini sangat minim ahli medis. Insaallah baktiku akan bermanfaat.
Setelah diobati, kuberikan kayu penopang untuk sayap patahnya. Burung ini tidak akan bisa terbang dalam beberapa minggu. Aku pikir, lalu bagaimana dengan sarangnya ? mungkinkah dia memiliki telur yang perlu dierami, atau anaknya yang perlu disuapi?
Aku panjat pohon itu untuk melihat sarangnya. Dan meminta Mang Aep mengambilkan sangkar. Dia adalah tukang kebun kami. Sementara induk burung itu diurusnya. Aku mengambil sebuah sarang burung cukup besar dengan tiga ekor bayi burung masih merah, berusia sekitar satu minggu.
Kuperhatikan ada yang aneh pada material sarang burung dara ini, sesuatu terselip-selip dalam ragkaian sarangnya. Seperti kertas, ada banyak carik kertas yang dilinting dan dilipat. Mana bisa seekor burung membuat lintingan kertas seperti ini? Logika berkata mungkin seseorang berbaik hati membuatkan ini.
Aku tanyakan sama Mang Aep, “Mang sebelumnya tau gak, ada burung Dara bikin sangkar di sini?”
“Oh, teu apal emang mah, Jang.” Mang Aep bilang tidak tahu jika burung ini bersarang di pohon mangga kami.
Di pikir-pikir tidak mungkin jika keluargaku melakukan hal konyol seperti ini. Ya sudah, Aku kumpulkan beberapa carik kertas yang sudah tercampur kotoran burung. Aku masukan anak burung itu dengan induknya. Sangkarnya kugantung di beranda loteng.
“ini apaan ya? Hemm...” aku angkat satu persatu, kukumpulkan lintingan kertas itu.
Di kamar kubuka lintingannya, ada serangkaian kata dibubuhi tanggal setiap kertas, semacam Diary singkat. Dari gaya tulisan disurat oleh orang sama. Ini aneh, Logika berkata “Mungkin sebelum burung itu membuat sarang disini, dia pernah tinggal di suatu tempat atau dipelihara seseorang.”
Aku pikir pemeliharanya ingin menyampaikan pesan pada seseorang. Namun burung ini tidak bisa menyampaikannya. Kemudian ia jadikan sebagai sarang, sejauh itu analisa logis dariku. Menjelang malam, aku urutkan sesuai tanggal tertulis pada kertas itu. Agar mudah dibaca tulisan ini dari awal. Tulisanan cukup rapi, meskipun kertasnya sudah lusuh.
29 Januari 2012
“Dara, mengapa kamu begitu suka bertengger di jendelaku? apakah kamu ingin berteman? Kalau begitu carikan aku teman juga, titip pesan ini padanya yaa... kamu yang membaca pesan ini, bisa kah kita berteman? siapa namamu?
Aku lirik kalender lipat di meja belajar “Ya Ampun, surat ini ditulis sejak 2 tahun yang lalu.” Klasik sekali di era secanggih ini masih saja ada orang mengirim surat lewat merpati. Aku baca lagi satu per satu surat yang lain.
20 Februari 2012
“Aku senang kamu mampir kemari lagi. Meskipun tidak ada surat kembali. Katakan hanya ingin dunia tahu, bahwa aku tidak bisa sebebas dirimu dara. Hari-hariku terpenjara dalam sepi, tanpa daya dan upaya, hanya bisa ditorehkan lewat kertas. Sampaikan saja Dara, aku disini, ada.”
Ini lebih dari sebuah surat, setiap bait katannya lebih merujuk pada catatan hati seseorang, Diary. Selanjutnya kubaca terus carahan hati orang ini.
13 Maret 2012
“Terima Kasih Dara telah kembali. Sudahkah kamu beritahu Dunia? Menembus Cakrawala, bahwa inilah aku. Kandis Gadis tuna wicara, hanya mampu menyurat jeritan hati pada kertas ini. Masin sendiri, tanpa sahabat, di balik kamar berdinding kayu aku terisolasi Dunia. Bertahun-tahun terduduk-terbaring-terduduk kembali. Dara, hanya keluh yang bisa kutulis, saat syukur pahit rasanya di batas perberbedaan. Sampaikan dukaku Dara ....”
4 April 2012
“Dara, bertahun-tahun terlewatkan masa dimana seharusnya aku bisa bermain, canda, tawa, melewati masa remaja seperti yang lain. Tapi, sejak Tuhan mengambil separuh kebahagiaanku, sudah suratan bahwa tak mungkin melangkah lagi. Saat langkah menjadi jalan kebahagiaan. Aku Tak Mau menyalahkan Tuhan, tapi aku mau Tuhan Adil. Aku sudah tidak tahu harus bagaimana Dara, dibiarkan seperti ini, bertahun-tahun, diabaikan, dijauhi, dan disembunyikan dari Dunia.”
Aku kurang paham maksud surat-surat ini, namun sepertinya orang yang menulis surat ini begitu menyedihkan. Kesimpulannya bahwa penulis surat ini adalah seorang wanita. Karena rasa penasaran teramat tinggi, hingga larut malam pun terus kubaca tulisan misterius ini.
22 Mei 2012
“Kamu kembali Dara, kali ini maukah kamu sampaikan betapa kecewa dan marahnya aku. Andai saja tidak terlambat ditangani, mungkin tidak akan seperti ini. Aku marah mengapa orang tua tidak bisa memberikan paramedis untuk menolongku, kecewa saat kemiskinan ini membunuh sedikit demi sedikit. Hidup seperti Mati !!. Setitik keyakin Tuhan pasti mengembalikan kebahagiaanku. Saat kaki mampu berpijak, saat tubuh tegak berdiri, saat nyanyian mengiringi hari.”
19 Juni 2012
"Dara, jangan bosan jika aku terus menitip surat ini untuknya. Dia yang ada diluar sana. Iya Kamu ! apakah aku orang paling menderita di dunia ini ? mungkin tidak. Mungkin kesempatan saja yang belum mendatangiku, namun kapan datangnya? kesempatan bertemu seseorang. Yang ingin menemuiku. Menjadi teman. Aku masih beruntung bisa menceritakan tulisan-tulisan konyol ini, yang entah didengar atau tidak. Bahkan tak yakin akan sampai pada seseorang di sana. Biar Takdir Ilahi yang menuntun surat ini."
14 Juli 2012
"Masih terbaring, tak berdaya Dara. Aku tidak mengerti bagaimana carannya pulih. ketahuilah, aku masih ada. Mama... Papa... biarkan orang lain tahu, bukan Aib. Aku gadis Sajang Hurip yang bahkan warga Desa tidak tahu, keberadaanku. Karena seperti inilah, Dibiarkan bertahun-tahun terbaring. Terpojok karena ke kemiskinan. Jangankan pergi ke Dokter. Aku hanya berdoa, agar bisa pulih seperti sebagaimana gadis semestinya. Dan kamu bisa menolong."
7 Agustus 2012
"Setelah 7 tahun baru aku ingin menulis. Jika aku diam. Bisa gila. Gadis lincah dulu, itu sudah tiada. Sekarang hanya seperti mayat hidup bungkuk dan siapapun pasti tidak mau melihat. kamu yang membaca surat ini, tolonglah. Aku tidak mau seperti ini, terbaring, menggeram, menangis, tak berarti."
11 September 2012
"Masih di hari-hari seperti biasa. Dara. Aku memandang langit biru itu dari jendela kamar. Andai aku sendiri yang terbang, bersama-mu. Dara ... oh ... Dara... sudah 9 bulan menulis surat ini, kamu kembali dengan cakar yang kosong, mencoba sabar menanti balasan. Aku menunggu... kamu... kamu... atau kamu ... yang ingin menjadi teman. Satu hal besar yang kutahu, tidak ada kesepian jika kamu kembali padaku, Dara. Terimakasih mau mengantarkan guratan pena-pena ini padanya."
Mataku terbius, untuk menghayati setiap carik kertas. Tapi aku bisa merasakan dengan hati bagaimana, perasaan wanita itu sekarang. Kini benar-benar mataku semakin berat karena kantuk kemudian terlelap begitu saja diatas meja.
***
Waktu menunjukan pukul tiga pagi, suara Adzan subuh awal terdengar. Itu yang terakhir aku ingat, aku membaca surat ini hingga tertidur. Dan terperanjat bangun karena sangkar burung ini terjatuh. Setelah mengambil air wudhu, sembari menunggu salat subuh aku salat malam dua rakaat dahulu. Berdoa untuk wanita yang menulis surat itu.
Dan memohon petunjuk untuk membuka sedikit misteri surat aneh itu. Apa mungkin ini hanya kebetulan saja. Tiba-tiba, burung dalam sangkar yang kuletakan diatas meja mengepak-ngebapak sayapnya, mencoba berontak. Membuat kertas-kertas diatas meja tadi beterbangan ke lantai.
“yaahh, berantankan lagi deh.” Aku bangkit dari sejadah setelah selesai salat subuh.
Saat memunguti kertas-kertas berjatuhan itu. Ada hal yang membuatku tercengang. Di balik setiap kertas itu tertulis sebuah huruf. Beberapa kertas yang terbalik nampak tersusun berderet menjadi satu kata.
0 komentar:
Posting Komentar
"aku sangat senang bila anda dapat meninggalkan komentar disini"