Cerpen Part 3
Judul : Diary Bersayap : Rahasia
Karya : Irfan Mustofa
Petugas yang melayani beranjak dari mejanya, kemudian masuk ke ruangan milik ‘Kepala Desa’. Karena pintu tidak rapat dari tempatku duduk sedikit bisa mengintip perbincangan serius antara Pak Sabdo dan Kades. Ekspresi Pak Kades nampak kebingungan. Namun kali ini Pak Kadeslah yang keluar. Dengan air muka ramah beliau duduk di hadapanku.
“Nak Danu kan?” tanyanya sambil kusambut jabatan beliau. Tak seperti Pak Sabdo yang formal dengan memanggil bapak.
“Ini, Nak Danu, di sini tercantum Data Warga Desa bernama Kandis, ada tiga orang. Semoga bisa ketemu ya,“ telunjuknya mengarahkan.
“Iya, Pak. Biar saya foto dulu.” Aku ambil gambar dengan ponsel agar lebih cepat dibanding dicatat.
“Baiklah, itu saja kan, Nak Danu? Semoga bisa menemukan Kandis yang dimaksud ya.”
“Iya, Pak terima kasih banyak bantuannya.” Aku langsung pamit. Pak Lurah menyuruh salah satu ajudannya untuk menemani. Namun aku tolak, karena yakin bisa menemukannya sendiri. Dalam hati, sebenarnya tidak ingin maksud asli ini diketahui.
Di sepanjang jalan pencarian, aku teringat perbincangan hangat bersama Ibu kemarin pagi. Yang berhasil memberi pandangan yang kuat untuk menemukan Kandis.
“Loh, mana Bapak ?” kata ibu sambil membawa sebakul nasi yang sudah di-akeul (di angin-angin)
“Nanti nyusul Bu, tadi katanya mau ke kebun dulu.”
Waktu sarapan kami hanya berdua, sehingga obrolan berlangsung intim antara aku dan Ibu, tahu sendiri seorang Ibu lebih banyak bicara lewat perasaan dan kasih. Saat kuceritakan Mimpi-mimpi, surat, burung dara itu. Dengan peka Ibu sudah memetik kesimpulan tersendiri.
“Itu sebuah petunjuk, Nak” Kata Ibu dengan lengkung dibibirnya,
“Petunjuk apa, maksud Ibu? Aku sendiri bahkan tidak mengenal wanita ini. Lalu apa hubungannya.” Tanyaku heran.
“Wallahualam... Allah punya skenario sendiri, takdir Tuhan itu berjalan indah. Mungkin Allah menjawab Doa penulis surat itu, lewat kamu, Danu.”
“Aku masih tidak mengerti...” tertunduk sambil menyuap nasi.
“Danu, mungkin ini seperti kebetulan yang epik, tapi pikirkan juga untuk apa kebetulan itu? jika memang jalannya kamu harus menolong dia, ya tolonglah.” Kata Ibu lebih bijak.
Aku tertegun sejenak, “Oh, begitu Bu...” dari ibulah aku mendapat pandangan mengenai skenario yang epic Sang Ilahi ini.
“Insallah, kamu ini calon seorang dokter, bisa saja ini ujian untuk mu, menjadi apakah awal apakah kamu layak sebagai penolong? Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain, itu bukan sekedar pepatah, tapi Firman Allah di Al-Quran.” Nasihat Ibu semakin menumbuhkan benih keyakinan dihatiku.
“Ikutilah hatimu, Nak. Kamu tahu apa yag terbaik buat dirimu.” Ucap Ibu, sambil mengecup kepalaku. Lalu melangkah ke dapur.
“Jika ini doa miliknya, aku harus bantu mewujudkan doa-doanya...”
Kata-kata Ibu masih terngiang di kepala. “Ikuti kata hatiku ya, bu?” bisik di hati.
Angan-angan buyar saat mendengar suara gemuruh guntur dari kejauhan. Awan sudah menumpuk dan menggelap. Aku percepat langkah, menuju alamat pertama. Alamat pertama yang di susuri, merupakan milik seorang wanita paruh baya yang mengaku Ibu dari Kandis. Namun dia mengatakan anaknya sudah meninggal 7 tahun lalu. Karena saat aku temui Ibu tadi, sepertinya baru datang dari kebun, bisa terlihat peluh berjatuhan dari wajah beliau.
Sepanjang jalan pulang aku sempat mengumpat, karena sikap ibu tadi. Yang tidak bisa memberinya banyak informasi. “hah, aku harus sedikit bersabar.” Mungkin ini perasaan saja yang terlalu menggebu-gebu. Lanjut menuju alamat selanjutnya. Pak Kades sempat bilang salah satunya adalah seorang janda muda.
Sampailah di depan rumah alamat kedua, seorang pria keluar dari rumah itu sambil mengancingkan baju. Lalu dari dalam seorang wanita sempat berbisik padanya. Pria itu sumringah lalu pergi. Terdapat plang bertuliskan “Jasa Pijat” wanita itu melirik padaku senyum mengembang di wajahnya.
Wanita dengan rambut sebahu dan berparas cukup cantik. Aku mengucap salam dan bertanya apa ini kediamannya. Dia memegang tanganku untuk masuk. Setelah mengutarakan maksud kedatang. Ia malah menutup pintu rapat-rapat. Perasaan mulai tidak karuan.
“Aku tahu sepertinya kamu bukan pemuda dari desa ini.” wanita itu bicara lalu berjalan ke arah belakang kursiku.
“Iya, saya dari desa lain, benar nama anda Kandis?”
“Waahh, ternyata namaku sudah tersohor sampai desa lain rupanya" Ucap wanita dengan nada bangga, "kamu pasti sangat lelah” katanya dengan manis. Tangannya mulai bergerak ke bahu.
“Ss-saya.. maaf mba, saya tidak apa-apa. Saya hanya ..” suaraku terbata, dan seketika jantung pun berdegup kencang.
“Akang, gak usah tegang gitu. Sudah biar saya pijat, mari...” tangannya kembali menggerayang di bahu. “Aku tahu kok, maksud kedatangan kamu?” bisikan halusnya membuat syahwat terguncang.
“Danu. Maaf mba, bisakah anda duduk dahulu.” Aku menyingkirkan tangan nakalnya.
“Sudahlah tenang saja. Saya tahu tujuan anda datang jauh-jauh kemari.” Tangannya kemudian dari belakang melingkar ke dadaku. Sontak aku kaget, apa yang wanita ini lakukan. Aku menyingkirkan tangannya dan berdiri.
“Punten, Teh ! Apa-apaan? Ini pelecehan !” sentakku, dengan kening mulai berkeringat.
“Loh, loh ! kok marah, kamu datang kesini untuk di pijat kan ? apalagi jika bukan untuk pijat plus... ” suaranya pelan menggoda. Membuat darah lelaki normal berdesir, terhentak aku mendengar ucapannya.
“Astagfirloh ! Maaf saya salah orang.”
Aku langsung memalingkan wajah, dan langsung keluar. Wanita itu hampir mencegatku. Hati berbisik dia bukan yang kucari. Daripada timbul fitnah, dan hal yang tidak-tidak sebaiknya segera menjauh dari sana. Kehormatan masih kujaga sebagai lelaki baik-baik.
Kegagalan memulai perjuangan ini, selanjutnya harus berhasil doktrin dalam hati. Rumah ketiga adalah pemilik Ibu-ibu sehat walafiat, usianya hampir sama dengan Ibuku. Orangnya sangat terbuka dan ramah dia menjamu dengan baik, membuat nyaman untuk menceritakan semuanya. Namun dia sama sekali tidak tahu-menahu mengenai surat-surat dan burung dara itu. Beliau memahami maksud, dan mendukung usahaku.
“Nak. Danu. Semoga kamu temukan gadis malang itu, beruntung sekali dia mendapatkan pria baik hati yang mau menolongnya. Ibu, doakan semoga berhasil” senyumnya tersungging penuh harapan. Beliau melambaikan tangan dari depan rumahnya.
“Terima Kasih Bu, sampai jumpa kembali.” Mendengar ibu tadi mendoakanku, seperti mendapat suntikan semangat agar terus berusaha. Meskipun lagi-lagi belum aku temukan dimana Kandis.
Tak lama kemudian hujan turun. Butir-demi-butir air langit menghantam tanah. Aku reflek berlari mencari tempat berteduh, kebetulan tidak jauh ada sebuah musola. Hari ini pencarianku tidak membuahkan hasil. Setelah solat dzuhur aku memanjatkan doa. Semoga mendapatkan petunjuk dan kemudahan dari-Nya.
Di beranda musola aku masih terduduk kebingungan, termenung sendiri kenyataannya tidak ada Kandis yang aku cari di Desa Sajang Hurip ini. Hujan pun mereda, mencoba menghibur suasana hati di ambang keputus asaan.
“Akhirnya ketemu juga ! kamu ada disini rupanya?” teriak seorang wanita dari luar pagar, dia memasukan sepedanya ke halaman musola ini.
“Iya, kenapa ?” timpalku.
“Hosh... hosh... aku mencari-cari kamu dari tadi, namamu Danu, bukan?” tanya dia disela-sela nafasnya yang tersenggal senggal.
“Iya, ya sudah duduk dulu, kamu sangat kelelahan. Namamu siapa ?” aku mengajaknya duduk bersama di beranda musola itu.
“Karisa, panggil saja aku Isa, atau Risa terserah kamu. “ jawabnya hangat ”eh, Aku loh yang tadi nganterin kamu ke kelurahan. Ingat?”
“Oh, Kamu ya .. hehe.. maaf tadi tidak sempat berkenalan sih.”
“Kamu sedang mencari Kandis, benar ? Tak sengaja aku menguping di kantor.”
Risa pun itu menjelaskan semua petunjuk arah kemana harus menemukan Kandis lain, semoga aja memang benar. Untuk memastikan aku sampai pada arahan Risa, dia mau mengantar sampai kerumahnya. Aneh, bukan perkenalan berlangsung lama tapi sudah merasa cukup akrab dengan dia, mungkin karena sifat Risa yang terbuka dan hangat.
“Biar aku antar pakai sepeda. Tapi kamu yang boseh yaa” Risa memintaku untuk menggowes, dan membiarkan dirinya diboceng.
Saat dia membelakangi untuk mengambil sepeda yang sandarkan. Seperti melihat seseorang yang sebelumnya pernah aku lihat.
“Tunggu Risa, sepertinya aku pernah melihat kamu.” Pertanyaan itu reflek keluar dari mulutku.
“Kamu ini gimana, tadikan sudah aku bilang, kita pernah ketemu di kelurahan tadi.”
Pikirku, ini sungguh aneh Risa mirip sekali dengan sosok wanita di mimpi itu. Perawakannya, rambutnya, warna baju yang dipakai, dan sepeda itu.
“hehe.. tunggu dulu, ini memang sedikit konyol. Aku pernah bermimpi bertemu denganmu”
“Hahaha plis deh, semua laki-laki sama aja ya, suka modus, hahaha sudahlah, Ayo Danu!” tawa manisnya membuat aku malu, kenapa berkata seperti itu ya, jelas Risa akan berpikir macam-macam padaku.
Sore itu, di jalanan desa yang basah. Sepeda itu meluncur cepat. Risa dibonceng berdiri di belakangku. Membiarkan rambutnya diterpa angin dan menikmatinya. Di depan stang sepeda itu terpasang sebuah keranjang kayu, berisi kertas, dan buku-buku. Kembali lagi anganku melayang pada mimpi itu. Pikiran masih di ambang rasa heran luar biasa. Tiba-tiba Risa menepuk bahu untuk berbelok, baru saja dia mengembalikan diriku dari lamunan. Sesuai arahannya.
“Kamu suka baca ya?” tanyaku sambil terus menggowes, melewati pesawahan di sisi kiri dan kanan jalan.
“Iya, aku suka baca, suka nulis artikel, puisi, aku suka sastra pokoknya, kenapa? Apalagi yang mau kamu tahu?” satu momen, Risa terdengar jutek.
Mungkin karena perkataanku tadi di musola, membuatnya beranggapan niat ditolong tapi seakan aku memanfaatkan situasi untuk merayunya. Risa memang orang easy going, tapi dia juga bisa jual mahal.
“Eumm, iya sama aku juga. Tunggu sampai aku ceritakan Diary misterius yang pernah aku baca.”
“Oh yah? Emang ada? Kyk gimana?” tanya Risa penasaran. Aku berhasil mengundang hasrat ingin tahunya, sedikit aku bisa mengembalikan suasana Risa yang sejak pertama bertamu. Harus pintar Breaking The Ice, sebelum dia menjadi ilpil padaku.
“Diary bersayap, yang mendasariku mencari wanita bernama, Kandis itu.”
Sepanjang jalan aku ceritakan semuanya. Perjalanan cukup jauh ke rumah Kandis, menjadi tidak terasa sampai. Rumah yang tidak terlalu besar, nampak reyot bila dikata ini lebih seperti sebuah gubuk. Rumah panggung khas adat sunda pedesaan, berdinding kulit bambu anyam, orang sini menyebutnya Bilik.
Risa memilih dibawah menjaga sepedanya, dan tidak menemaniku mengetuk pintu. Dia yakin ini rumah warga bernama Kandis lain. Aku sendiri heran mengapa Pak Kades tidak memberikan alamat rumah ini.
Aku menaiki lima buah anak tangga dan mengetuk rumah itu. Seorang ibu paruh baya membukakan pintu. Hingga aku mengutarakan tujuan, Ibu tadi langsung menutup pintu. Beliau tidak percaya. Hanya ketakutan yang menguasai dirinya untuk melindungi putri semata wayangnya.
Sampai aku berkata bisa menolong dengan mengakui sebagai Dokter. Ibu tadi baru bisa luluh, dia mengharapkan anaknya sembuh dari sakit.
“Ibu, saya bisa menolong putri anda. Percaya padaku.” Usahaku meyakinkan ibu.
“Baiklah, darimana kamu tahu rumah ini ?”
“Aku diantar seseorang yang mengaku teman masa kecil Kandis, namanya Karisa. Dia tepat ada di bawah ...” membalikan badan untuk menunjukan Risa, namun dia sudah tidak ada.
“Siapa Risa? Mana orangnya?” tanya Ibu menengok kebawah dari rumah panggungnya.
Dalam hati, kemana Risa? Dia malah kabur begitu saja, heran jika memang teman harusnya dia juga ingin melihat keadaan Kandis. Sempat kecewa, namun juga aku harus sadar diri dialah mengantar sampai sini. Entahlah, hanya tak habis pikir dengan wanita itu. Menolong kok setengah-setengah.
“Dimana Dia ? bagaimana kamu bisa sampai di sini, kamu jangan main-main Nak.” Rasa percaya yang baru saja tumbuh mulai layu lagi.
“Tidak Bu, begini tadi saya ke sini diantar seseorang. Sudahlah Bu, Izinkan saya melihat keadaan Kandis. Dia sedang sakit kan.”
Tanpa konfromi kembali, Aku diizinkan masuk melihat keadaan Kandis. Kelumpuhannya dibiarkan selama 7 tahun. Dia terbaring di tempat tidur, menatap kosong ke arah jendela kamar. Mungkin dia masih berharap burung Dara itu bertengger di sana, membalas surat.
"Kamu tidak perlu mengkhawatirkan Daramu, dia baik-baik saja, dia berkerja dengan baik karena sudah mengirimku kesini" Ucapku di pintu kamar, membuat Kandis kaget.
Kandis menoleh padaku, matanya berkaca-kaca, mulutnya terkatup-katup seperti ingin mengatakan sesuatu, namun satu katapun tak kuasa keluar dari pita suaranya. Ibunya membantu ia bangkit agar bisa duduk, nampak keadaan begitu menyedihkan tulung punggung bungkuk, leher condong ke kiri sehingga kepalanya tidak bisa tegak.
Sepertinya Kandis mengalami Closed Frakture yaitu suatu keadaan patah atau terjadi retakan pada tulang, namun tidak sampai merobek kulit. Hanya retak dalam. Karena tidak mendapat penanganan medis secara khusus dan dibiarkan. Mengakibatkan Fraktur tulang mengalami kompresi ini biasa terjadi pada tulang belakang. Itu yang membuatnya bungkuk. Sejauh itu analisaku menurut pendidikan medis calon Specialisis Dokter Orthopedist (Dokter Tulang). Malang sekali Kandis.
Aku perkenalkan diri padanya. Kandis hanya bisa berkata dengan Gagu, kubaca gerak bibirnya mengatakan banyak kata namun sulit. Satu kata yang bisa dimengerti “Terima Kasih”. Hanya memegang tangannya, kedatanganku membuat Ia sangat bahagia, itu tersirat dari wajah.
Ibunya merapihkan rambut Kandis yang berantakan, beliau menceritakan segalanya. Semenjak Ayahnya meninggal, kini hanya beliau yang merawat Kandis seadanya. Kondisi ekonomi tidak memungkinkan untuk memberikan perawatan secara medis.
Kandis merupakan korban tabrak lari, sampai sekarang tidak diketahui siapa pelakunya. Ibunya sama sekali tidak terfokus oleh itu, dia hanya ingin anaknya sehat kembali. Namun apa daya, kebun dan harta habis untuk perawatan anaknya.
“Aku bisa melakukan sesuatu untuk menolong Kandis, Bu !” kuraih ponsel dari saku.
“Mang Agus, aku mau pulang, jemput sekarang di ...” aku jelaskan alamat posisi sekarang.
----------------------
Bersambung...
Cerbung : "Diary Bersayap" - Part 4 : End - By Irfanmuse
Judul : Diary Bersayap : Rahasia
Karya : Irfan Mustofa
Petugas yang melayani beranjak dari mejanya, kemudian masuk ke ruangan milik ‘Kepala Desa’. Karena pintu tidak rapat dari tempatku duduk sedikit bisa mengintip perbincangan serius antara Pak Sabdo dan Kades. Ekspresi Pak Kades nampak kebingungan. Namun kali ini Pak Kadeslah yang keluar. Dengan air muka ramah beliau duduk di hadapanku.
“Nak Danu kan?” tanyanya sambil kusambut jabatan beliau. Tak seperti Pak Sabdo yang formal dengan memanggil bapak.
“Ini, Nak Danu, di sini tercantum Data Warga Desa bernama Kandis, ada tiga orang. Semoga bisa ketemu ya,“ telunjuknya mengarahkan.
“Iya, Pak. Biar saya foto dulu.” Aku ambil gambar dengan ponsel agar lebih cepat dibanding dicatat.
“Baiklah, itu saja kan, Nak Danu? Semoga bisa menemukan Kandis yang dimaksud ya.”
“Iya, Pak terima kasih banyak bantuannya.” Aku langsung pamit. Pak Lurah menyuruh salah satu ajudannya untuk menemani. Namun aku tolak, karena yakin bisa menemukannya sendiri. Dalam hati, sebenarnya tidak ingin maksud asli ini diketahui.
Di sepanjang jalan pencarian, aku teringat perbincangan hangat bersama Ibu kemarin pagi. Yang berhasil memberi pandangan yang kuat untuk menemukan Kandis.
“Loh, mana Bapak ?” kata ibu sambil membawa sebakul nasi yang sudah di-akeul (di angin-angin)
“Nanti nyusul Bu, tadi katanya mau ke kebun dulu.”
Waktu sarapan kami hanya berdua, sehingga obrolan berlangsung intim antara aku dan Ibu, tahu sendiri seorang Ibu lebih banyak bicara lewat perasaan dan kasih. Saat kuceritakan Mimpi-mimpi, surat, burung dara itu. Dengan peka Ibu sudah memetik kesimpulan tersendiri.
“Itu sebuah petunjuk, Nak” Kata Ibu dengan lengkung dibibirnya,
“Petunjuk apa, maksud Ibu? Aku sendiri bahkan tidak mengenal wanita ini. Lalu apa hubungannya.” Tanyaku heran.
“Wallahualam... Allah punya skenario sendiri, takdir Tuhan itu berjalan indah. Mungkin Allah menjawab Doa penulis surat itu, lewat kamu, Danu.”
“Aku masih tidak mengerti...” tertunduk sambil menyuap nasi.
“Danu, mungkin ini seperti kebetulan yang epik, tapi pikirkan juga untuk apa kebetulan itu? jika memang jalannya kamu harus menolong dia, ya tolonglah.” Kata Ibu lebih bijak.
Aku tertegun sejenak, “Oh, begitu Bu...” dari ibulah aku mendapat pandangan mengenai skenario yang epic Sang Ilahi ini.
“Insallah, kamu ini calon seorang dokter, bisa saja ini ujian untuk mu, menjadi apakah awal apakah kamu layak sebagai penolong? Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain, itu bukan sekedar pepatah, tapi Firman Allah di Al-Quran.” Nasihat Ibu semakin menumbuhkan benih keyakinan dihatiku.
“Ikutilah hatimu, Nak. Kamu tahu apa yag terbaik buat dirimu.” Ucap Ibu, sambil mengecup kepalaku. Lalu melangkah ke dapur.
“Jika ini doa miliknya, aku harus bantu mewujudkan doa-doanya...”
Kata-kata Ibu masih terngiang di kepala. “Ikuti kata hatiku ya, bu?” bisik di hati.
Angan-angan buyar saat mendengar suara gemuruh guntur dari kejauhan. Awan sudah menumpuk dan menggelap. Aku percepat langkah, menuju alamat pertama. Alamat pertama yang di susuri, merupakan milik seorang wanita paruh baya yang mengaku Ibu dari Kandis. Namun dia mengatakan anaknya sudah meninggal 7 tahun lalu. Karena saat aku temui Ibu tadi, sepertinya baru datang dari kebun, bisa terlihat peluh berjatuhan dari wajah beliau.
Sepanjang jalan pulang aku sempat mengumpat, karena sikap ibu tadi. Yang tidak bisa memberinya banyak informasi. “hah, aku harus sedikit bersabar.” Mungkin ini perasaan saja yang terlalu menggebu-gebu. Lanjut menuju alamat selanjutnya. Pak Kades sempat bilang salah satunya adalah seorang janda muda.
Sampailah di depan rumah alamat kedua, seorang pria keluar dari rumah itu sambil mengancingkan baju. Lalu dari dalam seorang wanita sempat berbisik padanya. Pria itu sumringah lalu pergi. Terdapat plang bertuliskan “Jasa Pijat” wanita itu melirik padaku senyum mengembang di wajahnya.
Wanita dengan rambut sebahu dan berparas cukup cantik. Aku mengucap salam dan bertanya apa ini kediamannya. Dia memegang tanganku untuk masuk. Setelah mengutarakan maksud kedatang. Ia malah menutup pintu rapat-rapat. Perasaan mulai tidak karuan.
“Aku tahu sepertinya kamu bukan pemuda dari desa ini.” wanita itu bicara lalu berjalan ke arah belakang kursiku.
“Iya, saya dari desa lain, benar nama anda Kandis?”
“Waahh, ternyata namaku sudah tersohor sampai desa lain rupanya" Ucap wanita dengan nada bangga, "kamu pasti sangat lelah” katanya dengan manis. Tangannya mulai bergerak ke bahu.
“Ss-saya.. maaf mba, saya tidak apa-apa. Saya hanya ..” suaraku terbata, dan seketika jantung pun berdegup kencang.
“Akang, gak usah tegang gitu. Sudah biar saya pijat, mari...” tangannya kembali menggerayang di bahu. “Aku tahu kok, maksud kedatangan kamu?” bisikan halusnya membuat syahwat terguncang.
“Danu. Maaf mba, bisakah anda duduk dahulu.” Aku menyingkirkan tangan nakalnya.
“Sudahlah tenang saja. Saya tahu tujuan anda datang jauh-jauh kemari.” Tangannya kemudian dari belakang melingkar ke dadaku. Sontak aku kaget, apa yang wanita ini lakukan. Aku menyingkirkan tangannya dan berdiri.
“Punten, Teh ! Apa-apaan? Ini pelecehan !” sentakku, dengan kening mulai berkeringat.
“Loh, loh ! kok marah, kamu datang kesini untuk di pijat kan ? apalagi jika bukan untuk pijat plus... ” suaranya pelan menggoda. Membuat darah lelaki normal berdesir, terhentak aku mendengar ucapannya.
“Astagfirloh ! Maaf saya salah orang.”
Aku langsung memalingkan wajah, dan langsung keluar. Wanita itu hampir mencegatku. Hati berbisik dia bukan yang kucari. Daripada timbul fitnah, dan hal yang tidak-tidak sebaiknya segera menjauh dari sana. Kehormatan masih kujaga sebagai lelaki baik-baik.
Kegagalan memulai perjuangan ini, selanjutnya harus berhasil doktrin dalam hati. Rumah ketiga adalah pemilik Ibu-ibu sehat walafiat, usianya hampir sama dengan Ibuku. Orangnya sangat terbuka dan ramah dia menjamu dengan baik, membuat nyaman untuk menceritakan semuanya. Namun dia sama sekali tidak tahu-menahu mengenai surat-surat dan burung dara itu. Beliau memahami maksud, dan mendukung usahaku.
“Nak. Danu. Semoga kamu temukan gadis malang itu, beruntung sekali dia mendapatkan pria baik hati yang mau menolongnya. Ibu, doakan semoga berhasil” senyumnya tersungging penuh harapan. Beliau melambaikan tangan dari depan rumahnya.
“Terima Kasih Bu, sampai jumpa kembali.” Mendengar ibu tadi mendoakanku, seperti mendapat suntikan semangat agar terus berusaha. Meskipun lagi-lagi belum aku temukan dimana Kandis.
Tak lama kemudian hujan turun. Butir-demi-butir air langit menghantam tanah. Aku reflek berlari mencari tempat berteduh, kebetulan tidak jauh ada sebuah musola. Hari ini pencarianku tidak membuahkan hasil. Setelah solat dzuhur aku memanjatkan doa. Semoga mendapatkan petunjuk dan kemudahan dari-Nya.
Di beranda musola aku masih terduduk kebingungan, termenung sendiri kenyataannya tidak ada Kandis yang aku cari di Desa Sajang Hurip ini. Hujan pun mereda, mencoba menghibur suasana hati di ambang keputus asaan.
“Akhirnya ketemu juga ! kamu ada disini rupanya?” teriak seorang wanita dari luar pagar, dia memasukan sepedanya ke halaman musola ini.
“Iya, kenapa ?” timpalku.
“Hosh... hosh... aku mencari-cari kamu dari tadi, namamu Danu, bukan?” tanya dia disela-sela nafasnya yang tersenggal senggal.
“Iya, ya sudah duduk dulu, kamu sangat kelelahan. Namamu siapa ?” aku mengajaknya duduk bersama di beranda musola itu.
“Karisa, panggil saja aku Isa, atau Risa terserah kamu. “ jawabnya hangat ”eh, Aku loh yang tadi nganterin kamu ke kelurahan. Ingat?”
“Oh, Kamu ya .. hehe.. maaf tadi tidak sempat berkenalan sih.”
“Kamu sedang mencari Kandis, benar ? Tak sengaja aku menguping di kantor.”
Risa pun itu menjelaskan semua petunjuk arah kemana harus menemukan Kandis lain, semoga aja memang benar. Untuk memastikan aku sampai pada arahan Risa, dia mau mengantar sampai kerumahnya. Aneh, bukan perkenalan berlangsung lama tapi sudah merasa cukup akrab dengan dia, mungkin karena sifat Risa yang terbuka dan hangat.
“Biar aku antar pakai sepeda. Tapi kamu yang boseh yaa” Risa memintaku untuk menggowes, dan membiarkan dirinya diboceng.
Saat dia membelakangi untuk mengambil sepeda yang sandarkan. Seperti melihat seseorang yang sebelumnya pernah aku lihat.
“Tunggu Risa, sepertinya aku pernah melihat kamu.” Pertanyaan itu reflek keluar dari mulutku.
“Kamu ini gimana, tadikan sudah aku bilang, kita pernah ketemu di kelurahan tadi.”
Pikirku, ini sungguh aneh Risa mirip sekali dengan sosok wanita di mimpi itu. Perawakannya, rambutnya, warna baju yang dipakai, dan sepeda itu.
“hehe.. tunggu dulu, ini memang sedikit konyol. Aku pernah bermimpi bertemu denganmu”
“Hahaha plis deh, semua laki-laki sama aja ya, suka modus, hahaha sudahlah, Ayo Danu!” tawa manisnya membuat aku malu, kenapa berkata seperti itu ya, jelas Risa akan berpikir macam-macam padaku.
Sore itu, di jalanan desa yang basah. Sepeda itu meluncur cepat. Risa dibonceng berdiri di belakangku. Membiarkan rambutnya diterpa angin dan menikmatinya. Di depan stang sepeda itu terpasang sebuah keranjang kayu, berisi kertas, dan buku-buku. Kembali lagi anganku melayang pada mimpi itu. Pikiran masih di ambang rasa heran luar biasa. Tiba-tiba Risa menepuk bahu untuk berbelok, baru saja dia mengembalikan diriku dari lamunan. Sesuai arahannya.
“Kamu suka baca ya?” tanyaku sambil terus menggowes, melewati pesawahan di sisi kiri dan kanan jalan.
“Iya, aku suka baca, suka nulis artikel, puisi, aku suka sastra pokoknya, kenapa? Apalagi yang mau kamu tahu?” satu momen, Risa terdengar jutek.
Mungkin karena perkataanku tadi di musola, membuatnya beranggapan niat ditolong tapi seakan aku memanfaatkan situasi untuk merayunya. Risa memang orang easy going, tapi dia juga bisa jual mahal.
“Eumm, iya sama aku juga. Tunggu sampai aku ceritakan Diary misterius yang pernah aku baca.”
“Oh yah? Emang ada? Kyk gimana?” tanya Risa penasaran. Aku berhasil mengundang hasrat ingin tahunya, sedikit aku bisa mengembalikan suasana Risa yang sejak pertama bertamu. Harus pintar Breaking The Ice, sebelum dia menjadi ilpil padaku.
“Diary bersayap, yang mendasariku mencari wanita bernama, Kandis itu.”
Sepanjang jalan aku ceritakan semuanya. Perjalanan cukup jauh ke rumah Kandis, menjadi tidak terasa sampai. Rumah yang tidak terlalu besar, nampak reyot bila dikata ini lebih seperti sebuah gubuk. Rumah panggung khas adat sunda pedesaan, berdinding kulit bambu anyam, orang sini menyebutnya Bilik.
Risa memilih dibawah menjaga sepedanya, dan tidak menemaniku mengetuk pintu. Dia yakin ini rumah warga bernama Kandis lain. Aku sendiri heran mengapa Pak Kades tidak memberikan alamat rumah ini.
Aku menaiki lima buah anak tangga dan mengetuk rumah itu. Seorang ibu paruh baya membukakan pintu. Hingga aku mengutarakan tujuan, Ibu tadi langsung menutup pintu. Beliau tidak percaya. Hanya ketakutan yang menguasai dirinya untuk melindungi putri semata wayangnya.
Sampai aku berkata bisa menolong dengan mengakui sebagai Dokter. Ibu tadi baru bisa luluh, dia mengharapkan anaknya sembuh dari sakit.
“Ibu, saya bisa menolong putri anda. Percaya padaku.” Usahaku meyakinkan ibu.
“Baiklah, darimana kamu tahu rumah ini ?”
“Aku diantar seseorang yang mengaku teman masa kecil Kandis, namanya Karisa. Dia tepat ada di bawah ...” membalikan badan untuk menunjukan Risa, namun dia sudah tidak ada.
“Siapa Risa? Mana orangnya?” tanya Ibu menengok kebawah dari rumah panggungnya.
Dalam hati, kemana Risa? Dia malah kabur begitu saja, heran jika memang teman harusnya dia juga ingin melihat keadaan Kandis. Sempat kecewa, namun juga aku harus sadar diri dialah mengantar sampai sini. Entahlah, hanya tak habis pikir dengan wanita itu. Menolong kok setengah-setengah.
“Dimana Dia ? bagaimana kamu bisa sampai di sini, kamu jangan main-main Nak.” Rasa percaya yang baru saja tumbuh mulai layu lagi.
“Tidak Bu, begini tadi saya ke sini diantar seseorang. Sudahlah Bu, Izinkan saya melihat keadaan Kandis. Dia sedang sakit kan.”
Tanpa konfromi kembali, Aku diizinkan masuk melihat keadaan Kandis. Kelumpuhannya dibiarkan selama 7 tahun. Dia terbaring di tempat tidur, menatap kosong ke arah jendela kamar. Mungkin dia masih berharap burung Dara itu bertengger di sana, membalas surat.
"Kamu tidak perlu mengkhawatirkan Daramu, dia baik-baik saja, dia berkerja dengan baik karena sudah mengirimku kesini" Ucapku di pintu kamar, membuat Kandis kaget.
Kandis menoleh padaku, matanya berkaca-kaca, mulutnya terkatup-katup seperti ingin mengatakan sesuatu, namun satu katapun tak kuasa keluar dari pita suaranya. Ibunya membantu ia bangkit agar bisa duduk, nampak keadaan begitu menyedihkan tulung punggung bungkuk, leher condong ke kiri sehingga kepalanya tidak bisa tegak.
Sepertinya Kandis mengalami Closed Frakture yaitu suatu keadaan patah atau terjadi retakan pada tulang, namun tidak sampai merobek kulit. Hanya retak dalam. Karena tidak mendapat penanganan medis secara khusus dan dibiarkan. Mengakibatkan Fraktur tulang mengalami kompresi ini biasa terjadi pada tulang belakang. Itu yang membuatnya bungkuk. Sejauh itu analisaku menurut pendidikan medis calon Specialisis Dokter Orthopedist (Dokter Tulang). Malang sekali Kandis.
Aku perkenalkan diri padanya. Kandis hanya bisa berkata dengan Gagu, kubaca gerak bibirnya mengatakan banyak kata namun sulit. Satu kata yang bisa dimengerti “Terima Kasih”. Hanya memegang tangannya, kedatanganku membuat Ia sangat bahagia, itu tersirat dari wajah.
Ibunya merapihkan rambut Kandis yang berantakan, beliau menceritakan segalanya. Semenjak Ayahnya meninggal, kini hanya beliau yang merawat Kandis seadanya. Kondisi ekonomi tidak memungkinkan untuk memberikan perawatan secara medis.
Kandis merupakan korban tabrak lari, sampai sekarang tidak diketahui siapa pelakunya. Ibunya sama sekali tidak terfokus oleh itu, dia hanya ingin anaknya sehat kembali. Namun apa daya, kebun dan harta habis untuk perawatan anaknya.
“Aku bisa melakukan sesuatu untuk menolong Kandis, Bu !” kuraih ponsel dari saku.
“Mang Agus, aku mau pulang, jemput sekarang di ...” aku jelaskan alamat posisi sekarang.
----------------------
Bersambung...
Cerbung : "Diary Bersayap" - Part 4 : End - By Irfanmuse
0 komentar:
Posting Komentar
"aku sangat senang bila anda dapat meninggalkan komentar disini"