Cerpen : "Bukan Senja Begini"
Karya : Irfan Mustofa
...sama sekali tidak terasa hamparan halus di telapak kaki. Sayangnya cakrawala tetap membiarkan lembayung tenggelam untuk sembunyi. Kesekian kalinya angin berbisik, tempatku bukan disini. Perlahan semua meredup ditelan malam kelam gelap hitam.
***
Suara peluit itu memekakkan telinga, dan kelopak mata terbuka. 10 menit sudah tadi terpejam. Karena tidak mau ketinggalan keberangkatan, sengaja menunggu dari subuh duduk di kursi besi ini. Aku cek tiket tertulis Peron 7 jam 05.40 WIB dan kode tempat duduk. Akhirnya, terlihat dari kejauhan dua mata bersinar menerobos gelap dan semakin mendekat.
“Nah, itu dia keretanya!” aku berdiri.
Saat menaiki KA Malabar perasaan aneh tak menentu, sedikit resah. Mungkin karena ini untuk pertama kalinya aku naik kereta cukup jauh. Jika membahas tujuanku mengingatkan pada lagu anak-anak. Setelah menyusuri deretan kursi, beruntung aku mendapat tempat duduk dekat dengan kaca. Mungkin juga mimpi sekejap tadi yang agak mengerikan. Namun, mimpi yang ini akan indah kayaknya.
Lima tahun lalu 7Ranger, gang bentukan dari dunia maya pernah berikrar, “2020 kita harus bertemu di Bali!”. Pada tanggal yang telah ditentukan kita harus menabung dan kopi darat di pulau Dewata. Impian bertemu di Bali akan terwujud.
Berasal dari berbagai daerah, dari Tanah Rencong, Batam, Palembang, Tanah Borneo, dari kota hujan, dan Lombok juga ada, sendiri aku dari Bandung. Persahabatan unik terjalin karena sebuah komunikasi dan konflik yang terus mendewasakan. Meskipun jarak memisahkan, perlahan timbul rasa kepercayaan layaknya bersahabat di dunia nyata. Jika dikisahkan, ceritanya tidak pernah cukup satu cerpen saja.
“Ping!!!” bunyi bbm-ku dari salah satu Ranger, itu sebutan setiap member gang konyol kami.
“Oii, Droen udah berangkat?” pesan Arief muncul. (droen itu kamu dalam bahasa Aceh)
“Iye, Rief. Gua baru aja duduk manis di kereta” pesanku Deliver lalu jadi Read.
Tak lama dia balas “oke, gua, Syam, dan Leo mau transit di Jakarta pakai pesawat, nanti tak kabari jika tiba” dialek khasnya tetap sama dalam chat.
Resa hati mulai sirna, takluk oleh semangat antusias untuk menemui mereka.Dalam hati aku berdoa, “Ya
Allah izinkan aku bertemu dengan mereka.Bismillah.” Perjalanan ini memakan waktu sekitar 10 jam. Tak lama diam, ponsel bergetar lagi.
Satu sms masuk, “Ka Irfan, Aku mau ke Jakarta transit bareng sama gank Sumatera.” Ini dari Pian Si Orang Bogor salah satu ranger termuda sebelum Irwan orang Lombok.
Tidak lupa mengabari dulu Goo untuk bertemu di Surabaya, karena dia datang dari Banjarmasin pasti singgah dulu di Tanjung Perak. Dua jam, tiga jam, lima jam berlalu bosan juga duduk-tidur-duduk di kereta. Papan hijau besar sempat terlewati, bertuliskan Kota Malang.
“Loh, kok, berhenti di Stasiun Malang?”
Setelah bertanya pada petugas, ternyata aku salah pilih kereta. Seharusnya menaiki KA Pasundan yang langsung ke Surabaya. Namun beliau mencoba memberi solusi, katanya aku bisa menaiki KA Tawang Alun menuju ke Stasiun Banyuwangi. Akan tiba satu jam lagi. Aku pikir benar juga, dari Banyuwangi kan bisa nyebrang sampai ke pelabuhan Gilimanuk. Lalu sampai di Bali.
Aku kabari Goo lagi, agar tidak perlu menunggu di Stasiun Gubeng Surabaya dan tunggu saja di Gilimanuk pukul 3 sore. Satu jam menunggu akhirnya singgah di kereta lain. Meskipun nampak tua dan agak bergoncang, kereta ini mampu meluncur cepat.
Sirine kereta dibunyikan nyaring panjang. Decit gesekan rel kereta juga terdengar ngilu di telinga membuatku pusing. Sempat terdengar suara goncangan dan hantaman, tapi kuabaikan. Kereta terus melaju cepat. Dengan volume tinggi, rasa jenuh hilang dengan irama musik favorit. Cukup Earphone di telinga menikmati perjalanan ini. Melihat ke jendela, sepertinya kereta melewati pusat kota, dari sirine yang di bunyikkan dari jauh akan melewati persimpangan rel dan jalan raya. Kenapa harus dari jauh ya?.
***
Turun dari kapal Ferry di pelabuhan Gilimanuk, mereka melihat ke arah aku bersama rombongan penumpang kapal. Menyaksikan raut wajah para Rangers begitu tidak senang. Mimik muka kecewa dan sedih tergurat jelas diantaranya juga nampak marah.
Bagaimana tidak marah, aku benar-benar terlambat. Seharusnya tiba pukul 3 sore. Ini malah, jam tangan menunjukan 17:00. Mereka berenam berlalu begitu saja. Tidak ada kata sambutan. Dan riuh sapaan layaknya Kopi Darat pertama. Dalam hati, “sepertinya mereka sangat kecewa.”
Sepanjang jalan menuju hotel, sindiran terus terlontarkan. Padahal aku tepat berada di belakang mereka.
Syam bilang, “Harusnya kita gak perlu ajak dia! Kemana aja sih? Rusak plan kita aja.”
‘Dia’ yang dia maksud pasti aku. Sudah ribuan maaf mengekor dengan alasannya. Namun, mereka berenam bersikap dingin, dan acuh. Tidak ada yang menanggapi. Ini bukan impian liburan yang aku harapkan. Diabaikan.
Singkat cerita, kami menikmati sunset di Pantai Kuta. Saling melempar pasir. Kejar-kejaran. Menendang ombak. Dan hal-hal menyenangkan lain yang dilakukan di Pantai. Sudah beberapa jam, tapi satu pun diantara mereka belum ada yang mau bicara padaku. Tak apalah, yang penting melihat mereka bersenang-senang aku turut senang.
“Irfaaaaaaannn!!! Kau menyebalkan,” dengan logat Palembangnya Leo teriak ke arah laut.
“Iiikkkhh... Si Rangers Ungu bikin kita gendok deh, hari ini,” keluh Goo membuatku agak geram.
Daripada mendengar mereka menggerutu. Aku memilih kembali ke kamar hotel. Ingin rasanya marah juga sama mereka. Tapi, mending menenangkan diri dari jetlag sambil rebahan di sofa. Tak lama semua kembali dengan pakaian semi basah. Irwan menyalakan televisi, sambil menunggu giliran mandi. Telunjuk Irwan terus memijit-mijit tobol remote.
“Mana ada acara seru jam segini, kalau bukan sinetron murahan kesukaan lo. Udik baru lepas maggrib udah nyalain TV!” umpatku sedikit mengiris. Aku kira bisa menarik perhatian mereka, ternyata tidak.
“Eh, Eh, Wan ! coba lu kembalikan lagi ke chanel sebelumnya,” kata Syam sambil menepuk bahu Irwan.
Lalu Irwan, memencet tombol kembali. Sehingga muncul seorang wanita, dengan air muka serius mengabarkan sebuah berita. Tertulis besar di bawah layar headline berita, Breaking News.
Suara TV: “Satu lagi duka datang dari dunia perkeretaan Indonesia. Akibat sebuah Tangki Pertamina menerobos perlintasan Rel Kereta Api....”
“GOO!! Cepat Kemari!!” Teriak Syam panik.
“Ada apa Syam? Bikin telinga budek aja,” timpal Goo.
“Bukan saatnya bercanda. Irfan tadi naik kereta apa? Jam berapa?” Mimik Syam begitu serius.
“KA Tawang Alun, dari Malang. Sekitar jam 2 siang. Kenapa ?”
Suara TV: “ ... Kereta dari arah Malang menabrak dan terguling, beberapa gerbong turut terbakar. Sehingga menelan beberapa korban. Musibah ini menambah deret panjang kecelakaan kereta di Indonesia.”
”Jangan-jangan?” serentak kaget Irwan, Goo, dan Syam, mereka saling pandangan lalu mengangkat telpon masing-masing. Mengabari seseorang.
“Irfan!! Fan!! Angkat Fan! Lo dimana?” teriak Syam panik.
“Nomor Irfan gak aktif bang Syam,” Timpal Irwan.
Apa-apaan mereka? aku kebingungan, “Gua disini guys?! Hei!” mencoba menyentuh mereka, namun terlewat begitu saja. Aku tangkap, tidak bisa. Telapak tangan kuarahkan pada lampu neon, cahayanya bisa menembus merawang telapak.
“Jadi, aku ini apa? Aku... ” saat melihat cermin, refleksi diri tidak nampak sama sekali.
***
Sepanjang pantai berbiaskan oranye sunset. Kuratapi takdir Tuhan, karena Bukan Senja Begini yang sama sekali aku harapkan. Namun, Sang Maha Kuasa sudah mengizinkan sempat melihat mereka yang ingin aku temui. Terisak namun tak berair, hanya tatapan kosong dari sebuah jiwa penasaran. Kakiku melangkah hampa namun... [sambungan ke awal cerita - prolog]
Sebelumnya Pelabuhan Gilimanuk.
“Dimana sih Irfan? Sudah 2 jam nih, kita orang nunggu,” tanya Leo mulai bosan.
“Tunggu sebentar lagi, dia pasti datang di kapal terakhir itu,” Ucap Arief menenangkan.
“Bang, Handphone dia gak aktif,” Irwan bersuara, setelah sejak tadi sibuk menelpon.
Kapal Fery terakhir merapat ke dermaga.
“Tidak ada kak,” ucap Pian terdengar sedih melihat rombongan penumpang turun.
“Kayaknya Irfan gak datang hari ini. Mungkin dia tiba besok,” kata Syam lebih dewasa.
“Ya sudah, mari kita ke Hotel,” timpal Goo lemas.
***
[epilog]
Kereta.
Aku mendengar hantaman, lalu kereta berguncang keras. Namun hanya dentuman kerasnya musik rock di telinga. Masih tidak terpengaruh, kini sebuah ledakan terdengar. Kepanikan terjadi, kereta semakin berguncang keras. Baru aku sadar ada yang tidak beres. Citra terakhir yang muncul, saat kereta terguling kemudian pecahan kaca menghujam wajah.
Astagfirlohal’adzim, mataku terbelalak dengan keringat dingin bercucuran. Suara peluit seorang petugas stasiun membuatku terhentak bangun. Dalam tidur sekejap itu. Istigfar terus kupanjat sambil mengusap wajah, dan meludah ke kiri tiga kali. Mimpi buruk.
0 komentar:
Posting Komentar
"aku sangat senang bila anda dapat meninggalkan komentar disini"