Kategori : CERPEN
Judul : Sebingkai dengan Papa [REVISED]
Tema : Keluarga, Moral, dan Budaya.
Karya : Irfan Mustofa
------------------------------------------------------------
“ Sebingkai Dengan Papa ”
Irama Yaasin membuat suasana rumah begitu hangat. Lantunannya seolah terasa mendamaikan, persis ketika pertama kali syukuran rumah. Saat itu aku masih duduk di sampingnya, membaca setiap ayat, memotong tumpeng, santap ria dalam balutan syukur. Prestasi pertamaku merubah wajah rumah papa menjadi baru. Lewat hasil keringat sendiri.
Di hari ke empat puluh kepergiiannya, lantunan Yaasin itu tak lagi sama. Bukan karena kalam itu tiada indah, melainkan saat Sang Ilahi rindu pada hambanya. Irama tersebut terasa begitu memilukan. Menggugah kesedihan lama akan Ia.
Sekarang, di ruang tamu ini kupandang sebingkai foto keluarga dengan pakaian senada. Terpancar senyum aura kebahagiaan dari potret itu. Sesal tiada kira, citra beliau hanya abadi dalam binkai.
“Maaf, cinta fana Evan, menutup cinta kebersamaan yang lama papa idamkan ....”
Bagaimana cinta fana itu terjadi? semua berawal dari sini. Setelah menyelesaikan Studi Strata satu di salah satu Universitas di Kota Bandung. Aku langsung gencar mencari pekerjaan. Pegawai bertitel Sarjana Teknik begitu banyak dicari terutama di kota besar. Papa bilang “jangan tanggung-tanggung untuk melamar pekerjaan jika minatku sebagai pegawai kantoran melamarlah di perusahaan besar, kuturuti saran papa.
Bersyukur usaha menggapai IP Tinggi di Kampus tidak sia-sia terutama suport dari papa yang tak pernah habisnya. Sehingga tidak makan waktu lama aku menunggu panggilan kerja, hingga pada akhirnya diterima di sebuah perusahaan Pengembang Teknologi Informasi terkemuka di Jakarta.
Aku sangat menikmati pekerjaan sekarang di Jakarta. Meskipun jauh dari keluarga, tapi orang tua begitu mendukung penuh untuk mewujudkan impianku. Hidup menjadi Pria Mandiri, seperti didikan Papa. Karena kecintaan pada bidang kerja yang digeluti, sering kali aku dijuluki seorang Workaholic. Mungkin semangat kerja keras ini sudah warisan dan mendarah daging dari Papa. Iyah, seperti kerja kerasnya, membanting tulang sebagai guru SMP, dan membuka Tailor kecil dirumah sebagai sampingan. Hanya untuk membiayai pendidikan aku dan kedua adik saat itu.
Ini tahun ke tujuh loyalitasku bekerja di perusahaan tersebut. Kecintaan terhadap perkerjaan yang mungkin dianggap papa berlebihan, membuatku jarang pulang menemui keluarga. Hanya ketika hari raya saja dan itu sangat papa sayangkan. Mau bagaimana lagi? aku bukan sekedar cinta tapi hanya ini yang bisa dilakukan untuk membalas budi, dan bentuk bakti terhadap mereka. Semenjak Papa pensiun, kini akulah yang membiayai sekolah kedua adik, diantaranya masih duduk di kelas 3 SMA dan 2 SMP. Mencari nafkah, seraya mengirimi kebutuhan untuk papa dan mama juga.
“Terima Kasih, kak. Uang sekolahku, dan Dafa sudah sampai,” ucap adik perempuanku di telpon.
“Ok, Ann, langsung nanti kamu bayarkan, buat sekolah ya!”
“Iya Siap, Kak! Kak Evan gimana kabarnya? Kapan pulang?”
“Kakak sehat-sehat saja, pulang? hemm kakak pikir tidak untuk waktu dekat ini, Ann. ”
“Ah, Kak Evan selalu gitu! Sibuk mulu! masa cuma lebaran doang bisa pulang ke Bandungnya,” ucap Andita terdengar kecewa.
“Mau, bagaimana lagi, pekerjaan kakak itu banyak, minggu ini juga akan keluar kota,” kataku memberi alasan.
“Yah, selalu begitu alasannya, itu Papa udah kangen sama kakak.”
“Oh, Iya, kabar Papa? Kakak mau ngomong dong.”
“Baik, tunggu bentar ka ...” suara telpon menghilang sementara, “Paah ... ini Kak Evan mau bicara!” samar terdengar olehku, perkataan Andita saat memberikan telpon pada Papa.
“Halo, Assalamualaikum ...” terdengar suara berat khas pria paruh baya.
“Walikumsalam, Pa? ini Evan, gimana kabarnya?” tanyaku santun.
“Alhamdulilah, Nak. Kamu gimana? Sehat Van?” tanya papa terdengar senang mendengar suaraku.
“Sehat-sehat saja Pa, Papa lagi apa?”
“Ini, biasa, lagi jahit pakaian pesanan tetangga.”
“Papa, masih ngejahit? buat apa Pa? Apa masih belum cukup kiriman Evan, Pa?” tanyaku begitu heran, pada papa yang sudah cukup renta, tapi masih saja gemar menjahit.
“Cukup, Alhamdulilah, bukan begitu juga, Van, Papa hanya tidak biasa jika hanya diam, Menjahit sudah hobi papa,” sekarang tahu darimana darah workaholic itu.
“Iya, Pa. Jangan sampai jahit larut malam terus ya, Pa? Jaga kesehatan.” Tegurku, teringat kembali saat itu, papa selalu saja menjahit banyak pesanan tidak mengenal waktu, mengejar upah untuk biaya kuliahku. Dan mama turut menemani dan membantunya.
“Eh, Pa, gimana kabar Mama?” tiba-tiba pikiranku terbesit untuk bertanya keadaan Mama.
“Iya, Van. Mamamu sehat juga, dia lagi mandangin Papa, nih, nerima telpon dari kamu, Nak.”
“Kalau begitu, Evan pengen bicara sama Mama dong, Pa.”
“Yah, Papa masih kangen dengar suara kamu, Nak.”
“Iya, di Loudspeaker saja, Pa. Minta bantuan Andita,” Saranku pada Papa, pasti beliau tidak tahu caranya.
“Papa, ingin kamu pulang, Van. Kapan kita bisa photo keluarga, mumpung Dafa, Andita sudah besar. Selagi Papa, Mama masih ada.”
“Papa, Mama akan sehat saja kok, jangan bicara sembarangan, nanti jika Evan pulang, kita Photo Keluarga!”
“Iya, Gatau nak, Papa ingin ruang tamu kita itu di hiasi Photo Keluarga kita.”
Dreeeddd ... Dreedddd ... Handphoneku bergetar, tanda panggilan lain masuk. Saat dilihat ternyata dari Boss. Aku harus segera mengangkatnya mungkin ada hal penting.
“Maaf, Pa! Boss Evan, nelpon. Lain kali Evan telpon lagi ya ... ” aku langsung pamit memutuskan panggilan. Setelah menerima panggilan dari Bossku, ternyata tanggal proyek keluar kota itu dimajukan. Aku segera bersiap untuk pergi keluar Kota, seraya memesan tiket pesawat tujuan Makassar. Karena besok pagi harus sudah berangkat.
Hampir tiga minggu ada di Makassar. Menyelesaikan proyek pengembangan jaringan internet dan telekomunikasi di suatu perusahaan di sana. Aku paling tidak suka jika pekerjaan ini, mengalami gangguan atau hambatan. Sudah menjadi etos jika handphone harus mati saat bekerja.
Tapi Andita, tidak pernah mengerti dia terus saja mengirimi SMS. Saat aku baca isi pesannya selalu sama, “Papa ingin kita segera Photo Keluarga!”
Pikirku, hal seperti itukan bisa nanti, cuma photo keluarga itu gampang dilakukan lain kali. Tapi jika pekerjaan ini tidak selesai, bisa gawat, dan tidak bisa dilakukan nanti, karena target waktu selesainya begitu mepet. Jika tidak selesai, bisa mati aku. Apalagi posisiku sudah sangat nyaman di sana.
“Kak, Papa mau, kakak pulang minggu ini, sempatkan sebentar saja, untuk Photo Keluarga kita.”
Begitu pesan, yang aku baca. Saat malam di hotel, kubalas SMS tersebut supaya, Andita tidak terus-menerus mengirimi SMS, yang mengganggu itu.
“Ann, bisa tidak, jangan sms kaka terus, kaka lagi di Makassar, iya. ntar deh, minggu depan kakak pulang.”
Selang beberapa menit, tiba-tiba telpon masuk.
“Halo, Bener Van, minggu ini kamu pulang ?” ternyata telpon dari papa.
“Iya, Pa, Iya ....”
“Papa, ingin segera photo keluarga, nanti bakal papa taruh di bingkai yang besar.”
“Duh, Papa kayak anak kecil, iya Pa, nanti Evan pulang, jika pekerjaan di sini sudah selesai.”
Setelah perbincangan itu, entah kenapa papa begitu ingin sekali Photo Keluarga, memang sih, sejak dahulu kami belum sempat photo keluarga karena Dafa dan Andita saat itu masih kecil, dan itu sudah menjadi idaman papa sejak lama. Semenjak, Rumah direnovasi lebih baik, Papa semakin ngebet ingin menghiasi ruang tamunya dengan Sebingkai photo keluarga yang besar dan indah.
Satu minggu berlalu, pekerjaan kami tidak kunjung selesai juga, karena ada masalah dan hambatan akibat keteledoran rekan kerja, sehingga aku tidak bisa menepati janji Papa, untuk pulang. Mungkin harus mengabari mereka. Akan terdengar kecewa tapi apa boleh buat. Pasti tidak akan diizinkan pulang, karena disiplin kerja perusahaan tempat kerjaku begitu ketat.
Baru saja, aku memegang telpon hendak mau menelpon papa, tiba-tiba ada panggilan masuk dari adik.
“Kak! Kak Evan!” teriknya di balik telpon.
“Iya, kenapa? nelpon itu ucap salam kek, bukannya teriak-teriak begitu.”
“Kak! Papa masuk rumah sakit !”
“Hah! Serius? Ah, jangan main-main kamu! Kakak gakan terpengaruh sama candaan kamu,” Entah apa yang aku pikirkan, aku malah merasa jika adiku melakukan keisengan konyol agar aku cepat pulang.
“Gila, kamu Kak! mana mungkin Andita bercanda, Papa benar-benar lagi sakit!”
“Yang benar? Sakit apa?” aku merasa ragu tapi cukup terkejut.
“Jika kakak, gak percaya ini, bicara sendiri sama Mama.”
Beberapa saat kemudian aku malah mendengar suara tersedu-sedu “Ma? Kok nangis? Papa kenapa?”
“Papamu ... dilarikan ke rumah sakit, kolesterolnya tinggi dia terkena serangan jantung.”
“Apa! Serangan Jantung?” saat aku mendengar keterangan mama dengan suara terisak, aku bengong seketika. Tidak ada lagi yang ingin aku pikirkan selain, harus pulang saat itu juga.
“Yang sabar Ma, Evan, bakal pulang pagi ini juga.” Aku langsung membuka Laptop untuk memesan tiket pesawat online, yang bisa terbang besok pagi dari Makassar ke Bandung.
Siang itu akhirnya aku sampai di Bandung, meskipun harus mendapatkan SP 1 karena meninggalkan pekerjaan, tidak peduli. Yang aku mau, hanya ingin melihat keadaan papa, hati masih berat karena masih ada satu pinta papa yang belum terpenuhi.
Di Rumah Sakit Hasan Sadikin, saat masuk ke ruangan tempat papa dirawat, kulihat Mama duduk sambil dirangkul Andita menguatkannya, kemudian Dafa, adikku menengok padaku.
“Kak, Evan!” kata Dafa, saat melihatku di depan pintu. Mama menengok kemudian memeluk. Beliau mencerikan kejadian malam itu, saat tiba-tiba dada papa sakit dan sesak nafas hingga tidak sadarkan diri.
Aku mencoba menenangkan Mama, kami berkumpul di ruang inap papa, menemaninya, menunggu matanya terbuka. Disamping papa aku berkomunikasi dengannya, yang kutahu orang dalam keadaan koma itu sebenarnya bisa mendengar apapun di sekelilingnya.
“Pa, ini Evan, aku sudah pulang, sekarang ada disini. Papa cepat bangun ....” ucapku melirih sedih pada telinganya sambil memegang tangannya.
“Maafkan aku Pa, karena jarang sekali kita bertemu, Evan sangat menyesal bertemu Papa dalam keadaan seperti ini.”
Aku terus berbicara dengan Papa agar matanya bisa terbuka, iba melihat keadaan Papa dengan berbagai alat yang menempel pada badannya.
“Pa, ada satu hal yang ingin Evan, katakan, nih, loh Pa, Evan sudah menemukan wanita yang ingin Evan persunting, ini potonya Pa!” Meskipun Papa tidak melihat, aku berikan poto seorang wanita yang menjadi kekasihku selama ini, dia adalah Partner kerjaku.
Aku berikan pada tangan Papa, agar dia bisa memegangnya. Sekali lagi, tidak ada respon dari apa sedikit pun. Kami hanya menunggu dengan keadaan cemas, sedih, dengan mulut terus memanjatkan doa.
Beberapa jam kemudian, saat tertidur di sampingnya. Aku merasakan gerakan pada jari-jemari papa.
“Van? Evaan ....” terdengar suara yang begitu pelan dari apa. Saat bangun, melihat papa sudah membuka mata dengan tatapan kearahku.
“Pa! Papa sudah siuman, Ma! Papa sudah bangun, Ma!” aku membangunkan mama, yang ikut tertidur di kursi dalam ruang inap itu. Aku begitu senang melihat mata papa terbuka, dengan senyum sedikit di wajahnya. Dalam keadaan seperti itu, ia masih mampu tersenyum menghibur kami.
“Akhirnya kamu pulang, Nak ....” kata papa sambil mengusap kepalaku. “Jadi ini, yang akan menjadi calon menantu Papa?” papa melihat sebuah poto yang kuberikan padanya. Aku begitu terharu karena bahagia melihat papa, bisa terbangun dan nampak senang.
“Maafkan aku, Pa, Evan baru bisa bertemu Papa, dalam keadaan seperti ini, Evan menyesal, Pa,” Aku tertunduk malu.
“Dengan bisa melihat putra sulungku ini saja Papa sudah senang, maafkan papa juga ya, jika selama ini Papa banyak salah.”
Kemudian, dokter dan suster datang memeriksa keadaan papa. Dokter mengatakan keadaan Papa sudah stabil, hanya saja jantungnya masih lemah setelah melakukan Operasi. Papa harus beristirahat kembali.
“Papa, tidur lagi yaa ....” ucap papa pelan.
“Iya, Pa, Istirahatlah.”
Setelah beberapa jam papa tertidur, sekitar pukul satu malam, aku dikejutkan dengan suara yang panjang dari sebuah alat yang entah apa, alat yang menunjukan gambar gelombang detak jantung. Kini terdengar “biiipp” begitu panjang dan lama, saat aku lihat pada monitor alat itu hanya menunjukan satu garis lurus yang panjang.
“Apa yang terjadi? Papa?” aku pegang tangannya begitu dingin, dan wajahnya pucat. Aku, mama, dan kedua adikku begitu panik, entah apa yang terjadi pada papa. Setelah, Dokter datang dan memeriksa keadaannya, kami diminta menunggu diluar, dari balik kaca pintu aku hanya melihat papa terguncang-guncang, karena dadanya terus dihantam oleh alat pemicu jantung, untuk mengembalikan detang jatungnya.
Tapi, Tuhan berkehendak lain, detak jantungnya sudah tidak pernah kembali, papa sekarang tertidur selamanya. Kami telah kehilangannya.
Itulah kisah pilu penuh sesal yang aku ingat, 40 hari setelah papa meninggal. Yang selalu kuingat setiap melihat Sebingkai Poto Keluarga yang terpampang di Ruang Tamu kami. Hanya ini satu pinta papa yang belum aku penuhi, Photo Keluarga. Sepele memang, saat aku mencoba berbakti dengan memberikan semua kebutuhan papa dan keluarga, tapi mengapa tidak bisa menyempatkan hanya untuk “Sebingkai Dengannya”. Aku begitu menyesal, sangat dalam. Baru mengerti sekarang mengapa papa begitu ingin berphoto keluarga, bukan sekedar menghiasi ruangan ini, seperti yang kupikirkan saat itu.
Setelah tahlilah ke empat puluh. Aku duduk memandangi sebingkai poto besar menggantung menghiasi ruang tamu. Meskipun poto keluarga ini, hanya editan di mana citra papa ditempelkan di sana. Aku, mama, dan kedua adik memakai pakaian senada yang dijahit khusus oleh papa.
Betapa tersirat sebuah kebersamaan dan kebahagiaan terbingkai satu. Ini mungkin yang papa inginkan “dengan selalu melihat Photo ini ia bisa merasakan kebersamaan yang langka, disaat-saat terakhirnya.” Papa tahu aku jarang pulang, terlalu sibuk bekerja. Jika saja, aku sempat menuruti keinginannya. Beliau mungkin sempat memandangi bingkai itu setiap saat. Melihat seperti yang aku pandang sekarang.
Butir duka itu menetes setiap mengingat penyesalan yang kulakukan.
“Maaf Pa,”ucapku sekali lagi, “inikan yang papa mau? Sebingkai denganku ....”
“Sudahlah, Nak. Jangan selalu disesali, ini sudah jalan Ilahi,” Mama, datang menghampiri sambil mengecup rambut kepalaku.
Sekarang, tidak boleh aku terjatuh pada jurang sesal kedua kalinya. “Ma! apapun akan kulakukan untuk berbakti kepadamu, ladang surgaku!” kupeluk mama.
-------------------------------END-----------------------------
Untuk, berbakti kepada orang tua, bukan sekedar mencukupi kebutuhan mereka, lebih dari itu, bahagiakan mereka dengan kehadiran dan kebersamaan kita. Orang tua selalu ingin kebahagiaan kecil yang ingin mereka ulang, dan tak pernah ternilai oleh uang. Setiap waktu, setiap ruang.
Semangat berbagi kedua orang tua adalah kasih sayang, begitu juga bakti kita untuk membalasnya.