10 Des 2014

[CERPEN] “ Sebingkai Dengan Papa ”







Kategori          : CERPEN
Judul               : Sebingkai dengan Papa
Karya              : Irfan Mustofa



Setelah menyelesaikan Studi Strata satu di Universitas di Bandung, aku langsung gencar mencari pekerjaan. Pegawai bertitel Sarjana Teknik begitu banyak dicari terutama di kota besar. Papa bilang jangan tanggung-tanggung untuk melamar pekerjaan jika minatku sebagai pegawai kantoran melamarlah di perusahaan besar, aku pun ikuti saran Papa. Bersyukur usahaku menggapai IPK Tinggi di Kampus tidak sia-sia terutama suport dari Papa yang tak pernah habisnya. Tidak terlalu lama aku menunggu panggilan kerja akhirnya aku diterima di sebuah perusahaan Pengembang Teknologi dan Komunikasi terkemuka di Jakarta.
Aku sangat menikmati pekerjaanku sekarang di Jakarta. Meskipun jauh dari keluarga, tapi orang tua begitu mendukung penuh aku untuk mewujudkan impianku. Hidup menjadi Pria Mandiri, seperti didikan Papa, tapi saking cintanya akan dunia kerja aku geluti menjadikanku seorang Workzaholic. Mungkin semangat kerja keras ku ini sudah turunan dan mendarah daging dari Papa. Iyah, seperti kerja kerasnya membanting tulang sebagai guru SMP, dan membuka Tailor kecil dirumah sebagai sampingan. Hanya untuk membiayai pendidikan aku dan kedua adikku.
Kini sudah tahun ke tujuh aku tetap loyal bekerja di perusahaan itu, kecintaan ku terhadap perkerjaan yang mungkin di anggap Papa berlebihan, membuatku jarang pulang menemui keluarga, hanya ketika hari besar raya saja dan itu sepertinya di sayangkan Papa. Mau bagaimana lagi? aku bukan sekedar cinta tapi hanya ini yang bisa kulakukan untuk membalas budi, dan bentuk baktiku terhadap mereka. Semenjak Papa Pensiun, kini akulah yang membiayai sekolah kedua adikku yang masih duduk di kelas 3 SMA dan 2 SMP. Mencari nafkah, senantiasa mengirimi kebutuhan untuk Papa dan Mama juga.
“Terima Kasih, kak. Uang sekolahku, dan Dafa sudah sampai.” Ucap adik perempuanku di telpon.
“Ok, Ann, langsung nanti kamu bayarkan, buat sekolahmu ya! ”
“Iya Siap, kak ! Kak Evan gimana kabarnya? Kapan pulang? ”
“Kakak sehat-sehat saja, pulang ? hemm kakak pikir tidak untuk waktu dekat ini, Ann. ”
“Ah, Kakak mah sibuk mulu, masa cuma lebaran doang bisa pulang ke Bandungnya.” Ucap Andita terdengar kecewa.
“Mau, bagaimana lagi, pekerjaan kakak itu banyak, minggu ini juga kakak akan keluar kota.” Kataku memberikan alasan.
“Yah, selalu begitu alasannya, itu Papa udah kangen sama kakak.”
“Oh, Iya, kabar Papa ? Kakak mau ngomong dong.”
“Baik, tunggu bentar ka..” suara telpon menghilang sementara.
“Paah, ini Kak Evan mau bicara sama Papa !” terdengar sedikit olehku, perkataan Andita saat memberikan telpon pada Papa.
“Halo, Assalamualaikum...” terdengar suara berat khas pria paruh baya.
“Walikumsalam, Pa ? ini Evan, gimana kabarnya ?” tanyaku santun.
“Alhamdulilah, nak. Kamu gimana? Sehat Van ?” tanya Papa terdengar senang mendengar suara ku.
“Sehat-sehat saja Pa, Papa lagi apa ?”
“Ini, biasa, lagi jahit pakaian pesanan tetangga.”
“Papa, masih ngejahit ? buat apa Pa? Apa masih kurang kiriman Evan, Pa ?” tanyaku begitu heran, pada Papa yang usianya sudah cukup Tua, tapi masih saja gemar menjahit.
“Cukup, Alhamdulilah, bukan begitu juga Van, Papa hanya tidak biasa jika hanya diam, Menjahit sudah hobi Papa.”
“Iya, Pa. Jangan sampai jahit sampai malam terus ya, Pa ? Jaga kesehatan Pa.” Tegurku pada Papa, teringat waktu aku Kuliah, Papa selalu saja menjahit banyak pesanan hingga larut malam, mengejar upah untuk biaya kuliahku. Dan Mama, selalu menemaninya dan membantunya.
“Eh, Pa, gimana kabar Mama ?” tiba-tiba pikiranku terbesit untuk bertanya keadaan Mama.
“Iya, Van. Mamamu sehat juga, dia lagi mandangin Papa, nih, nerima telpon dari kamu, Nak.”
“Kalau begitu, Evan pengen bicara sama Mama dong, Pa.”
“Yah, Papa masih kangen dengar suara kamu, Nak.”
“Iya, di Loudspeaker saja, Pa. Minta bantuan Andita.” Saranku pada Papa, pasti beliau tidak tahu caranya.
“Papa, ingin kamu pulang, Van. Papa ingin Photo keluarga, mumpung Dafa, Andita sudah besar. selagi Papa, Mama masih ada.”
“Papa, Mama akan sehat saja kok, jangan bicara sembarangan, nanti jika Evan pulang, kita Photo Keluarga.”
“Iya, Gatau nak, Papa ingin ruang tamu kita itu di hiasi Photo Keluarga kita.”
Dreeeddd .... Dreedddd .... Handphone ku bergetar, tanda panggilan lain masuk. Saat aku lihat ternyata dari Boss ku. Aku harus segera mengangkatnya mungkin ada hal penting.
“Maaf, Pa. Boss Evan, nelpon. Lain kali Evan telpon lagi ya... ” aku langsung pamit memutuskan panggilan kepada Papa. Setelah menerima panggilan dari Bossku, ternyata tanggal proyek keluar kota itu dimajukan. Segera aku bersiap untuk pergi keluar Kota, yaitu ke Makassar esok hari.
Hampir tiga minggu, aku harus berada di Makassar. Menyelesaikan proyek pengembangan jaringan internet dan telekomunikasi di suatu perusahaan disana. Aku paling tidak suka jika pekerjaanku ini, mengalami gangguan atau hambatan. Handphone ku selalu menerima SMS dari Andita, Adiku. Yang pesannya, “Papa ingin kita segera Photo Keluarga.”
Pikirku, hal seperti itukan bisa dilakukan nanti, cuma photo keluarga itu gampang dilakukan lain kali. Tapi jika pekerjaanku ini tidak selesai, bisa gawat, dan tidak bisa dilakukan nanti, karena target waktu selesainya begitu mepet.

“Kak, Papa mau, kakak pulang minggu ini, sempatkan sebentar saja, untuk Photo Keluarga kita.”
Begitu pesan, yang aku baca. Saat malam di hotel, aku mencoba membalas SMS tersebut supaya, Andita tidak terus-menerus mengirimi SMS, yang cukup mengganggu itu.
“Ann, bisa tidak, jangan sms kaka terus, kaka lagi di Makassar, iya. ntar deh, minggu depan kakak pulang.”
Selang beberapa menit, tiba-tiba telpon masuk.
“Halo, Bener Van, minggu ini kamu pulang ?”
“Iya, Pa, Iya...”
“Papa, ingin segera photo keluarga, nanti bakal Papa taruh di bingkai yang besar.”
“Duh, Papa kayak anak kecil, iya Pah, nanti Evan pulang, jika pekerjaan Evan sudah selesai.”
Setelah perbincangan itu, entah kenapa Papa begitu ingin sekali Photo Keluarga, memang sih, sejak dahulu kami belum sempat photo keluarga karena Dafa dan Andita saat itu masih kecil, dan itu sudah menjadi idaman Papa sejak lama. Semenjak, Rumah di Bandung direnovasi lebih baik, Papa semakin ngebet ingin menghiasi ruang tamu itu dengan Photo Keluarga yang terbingkai di Ruang Tamu.
Setelah, satu minggu, pekerjaan kami tidak kunjung selesai juga, karena ada masalah dan hambatan akibat keteledoran rekan kerja ku, sehingga aku tidak bisa menepati janji Papa, untuk pulang. Mungkin, aku harus mengabari mereka, akan terdengar kecewa tapi apa boleh buat. Aku pasti tidak akan di izinkan pulang, karena disiplin kerja perusahaan tempat kerjaku begitu ketat.
Baru saja, aku memegang telpon hendak mau menelpon Papa, tiba-tiba ada panggilan masuk dari adiku.
“Kak ! Kak Evan !”
“Iya, kenapa ? nelpon itu ucap salam kek, bukannya teriak-teriak begitu.”
“Kak ! Papa masuk rumah sakit !”
“Hah ?! Serius ? ah, jangan main-main kamu, gak baik Ann kamu bercanda seperti ini untuk membujuk kakak pulang.” Entah apa yang aku pikirkan, aku malah merasa jika adiku melakukan keisengan konyol agar aku cepat pulang.
“Gila, kamu kak ! mana mungkin Andita bercanda, Papa benar-benar lagi sakit.”
“Yang benar? Sakit apa?” aku merasa ragu sekaligus terkejut.
“Jika kakak, gak percaya ini, bicara sendiri sama Mama.”
“Berikan telponnya pada Mama ! “ beberapa saat kemudian aku malah mendengar suara tersedu-sedu “Ma? Kok nangis? Papa kenapa ? ”
“Papamu... dilarikan ke rumah sakit, serangan jantung, karna kolesterolnya tinggi.”
“Apa ! Serangan Jantung? ” saat aku mendengar keterangan Mama dengan suara terisak, aku bengong seketika. Tidak ada lagi yang ingin aku pikirkan selain, harus pulang saat itu juga.
“Yang sabar Ma, Evan, bakal pulang pagi ini juga.” Aku langsung membuka Laptop untuk segera reservasi online tiket pesawat yang bisa terbang besok pagi dari Makassar ke Bandung.
Siang itu akhirnya aku sampai di Bandung, meskipun aku harus mendapatkan SP 1 karena meninggalkan pekerjaan ku, aku tidak peduli. Yang aku mau, aku ingin melihat keadaan Papa, hatiku masih berat karena masih ada satu pinta Papa yang belum aku penuhi.
Di Rumah Sakit Hasan Sadikin, saat aku masuk keruangan tempat Papa dirawat, kulihat Mama, duduk sambil dirangkul Andita menguatkannya, kemudian Dafa, adiku menengok ke arahku.
“Kak, Evan !” kata Dafa, saat melihatku di depan pintu. Mama menengok kemudian memelukku. Mama kemudian, mencerikan kejadian malam itu, saat Tiba-tiba dada Papa sakit dan sesak nafas hingga tidak sadarkan diri.
Aku mencoba menenangkan Mama, kami berkumpul di ruang inap Papa, menemaninya, menunggu matanya terbuka, bangun koma. Disamping Papa aku mencoba berkomunikasi dengannya, yang kutahu orang dalam keadaan koma itu sebenarnya bisa mendengar apapun disekelilingnya.
“Pa, ini Evan Pa, aku sudah pulang, sekarang ada disini, Pa. Papa cepat bangun, Pa.” Aku berbicara disamping tempat tidurnya sambil memegang tangannya.
“Maafkan aku Pa, karena jarang sekali kita bertemu, aku sangat menyesal Evan bisa bertemu, Papa dalam keadaan sepeerti ini.” Aku hanya tertunduk menyesal. Aku terus berbicara dengan Papa agar matanya bisa terbuka, aku sangat iba melihat keadaan Papa, dengan berbagai alat yang menempel pada badannya.
“Pa, ada satu hal yang ingin Evan, katakan, nih, loh Pa, Evan sudah menemukan wanita yang ingin Evan persunting, ini Photonya Pa.” Meskipun Papa tidak melihat, aku berikan Poto seorang wanita yang menjadi kekasihku selama ini, dia adalah Partner kerja ku. aku berikan pada tangan Papa, agar dia bisa memegangnya. Sekali lagi, tidak ada respon dari Papa sedikit pun. Kami hanya menunggu dengan keadaan cemas, sedih, dan mulut terus mengucapkan doa.
Beberapa jam kemudian, saat aku tertidur disamping Papa. Aku merasakan gerakan pada jari-jemari Papa.
“Van, Evaan..” terdengar suara yang begitu pelan dari Papa. Saat aku bangun, aku melihat Papa sudah membuka mata dan melihat kearahku.
“Pa ! Papa sudah siuman, ... Ma, !! Papa sudah bangun Ma !!” aku membangunkan Mama, yang ikut tertidur di kursi dalam ruang inap Papa itu. aku begitu senang melihat mata Papa terbuka, dengan senyum sedikit di wajahnya. Dalam keadaan seperti itu, Papa masih bisa tersenyum menghibur kami.
“Akhirnya kamu pulang, nak ...” kata Papa sambil mengusap kepalaku. “Jadi ini, yang akan menjadi calon menantu Papa?” Papa melihat sebuah poto yang kuberikan padanya. Aku begitu terharu karena bahagia melihat Papa, bisa terbangun dan nampak senang.
 “Maafkan aku Pa, Evan baru bisa bertemu Papa, dalam keadaan seperti ini, Evan menyesal Pa.” Aku tertunduk karena malu.
“Dengan Papa bisa melihat putra sulungku ini saja Papa sudah senang, maafkan Papa juga ya, jika selama ini Papa banyak salah.”
Kemudian, dokter dan suster datang memeriksa keadaan Papa. Dokter mengatakan keadaan Papa sudah stabil, hanya saja jantungnya masih lemah setelah melakukan Operasi. Papa harus beristirahat kembali.
“Papa, tidur lagi yaa...” ucap Papa pelan.
“Iya, Pa, Istirahatlah.” Aku biarkan Papa berintirahat
Setelah beberapa jam Papa tertidur, sekitar pukul  1 malam, aku dikejutkan dengan suara yang panjang dari sebuah alat yang entah apa, alat yang menunjukan gambar gelombang detak jantung. Kini terdengar biiipp begitu panjang dan lama, saat aku lihat pada monitor alat itu hanya menunjukan satu garis lurus yang panjang. “Apa yang terjadi ? Apakah Papa?” aku pegang tangannya begitu dingin, dan wajahnya pucat. Aku, Mama, dan Adik-adiku begitu panik, entah apa yang terjadi pada Papa. Setelah, Dokter datang dan memeriksa keadaannya, kami diminta menunggu diluar, dari balik kaca pintu aku hanya melihat Papa terguncang-guncang, karena dadanya terus di hantam oleh alat pemicu jantung, untuk mengembalikan detang jatungnya.
Tapi, Tuhan berkehendak lain, detak jantungnya sudah diambilNya, Papa sekarang tertidur selamanya. Kami telah kehilangannya.
Itulah, kisah yang aku ingat, 40 hari setelah Papa meninggal. Yang selalu aku ingat setiap aku melihat Sebingkai Photo Keluarga yang terpampang di Ruang Tamu kami. Hanya ini satu pinta Papa yang belum aku penuhi, Photo Keluarga. Sepele sebenarnya, saat aku mencoba berbakti dengan memberikan semua kebutuhan Papa dan keluarga, tapi mengapa aku tidak bisa menyempatkan hanya untuk “Sebingkai Dengan Papa”. Aku begitu menyesal, menyesal sangat mendalam. Aku mengerti sekarang mengapa Papa begitu ingin berphoto keluarga, bukan sekedar menghiasi ruangan ini, seperti yang kupikirkan saat itu. Dari Potret ini aku bisa melihat sebuah Kebersamaan dan Kebahagiaan dalam satu bingkai. Ini mungkin yang Papa inginkan dengan selalu melihat Photo ini Papa bisa merasakan kebersamaan yang langka, disaat-saat terakhirnya. Papa tahu aku jarang pulang, sibuk bekerja, hanya satu kesempatan yang belum sempat aku penuhi yang diinginkanya. Air mataku terus menetes setiap mengingat penyesalan demi penyesalan. Meskipun Photo Keluarga ini, hanya editan dimana Photo Papa di Tempelkan disana. Aku, Mama, dan kedua adiku memakai Pakaian yang sama yang dijahit khusus oleh Papa.
“ Maaf Pa, inikan yang Papa mau? Sebingkai denganku...”
“ Sudahlah, nak. Jangan terlalu disesali, ini sudah takdir Tuhan.” Mama, datang menghampiriku sambil mengecup rambut kepalaku.
Sekarang aku, tidak akan menyesal untuk kedua kalinya. Mama, apapun akan kulakukan untuk berbakti kepadamu, Pintu Surgaku.
Untuk, berbakti kepada orang tua, bukan sekedar mencukupi kebutuhannya, tapi bahagiakan karena kehadiran dan kebersamaan kita dengan mereka. Orang tua selalu ingin kebahagiaan kecil yang ingin mereka ulang, yang tak pernah ternilai oleh uang.

0 komentar:

Posting Komentar

"aku sangat senang bila anda dapat meninggalkan komentar disini"