Kategori : CERPEN
Judul : Sebingkai dengan Papa
Karya : Irfan Mustofa
Setelah
menyelesaikan Studi Strata satu di Universitas di Bandung, aku langsung gencar
mencari pekerjaan. Pegawai bertitel Sarjana Teknik begitu banyak dicari
terutama di kota besar. Papa bilang jangan
tanggung-tanggung untuk melamar pekerjaan jika minatku sebagai pegawai kantoran
melamarlah di perusahaan besar, aku pun ikuti saran Papa. Bersyukur usahaku
menggapai IPK Tinggi di Kampus tidak sia-sia terutama suport dari Papa yang tak
pernah habisnya. Tidak terlalu lama aku menunggu panggilan kerja akhirnya aku
diterima di sebuah perusahaan Pengembang Teknologi dan Komunikasi terkemuka di
Jakarta.
Aku
sangat menikmati pekerjaanku sekarang di Jakarta. Meskipun jauh dari keluarga,
tapi orang tua begitu mendukung penuh aku untuk mewujudkan impianku. Hidup
menjadi Pria Mandiri, seperti didikan Papa, tapi saking cintanya akan dunia
kerja aku geluti menjadikanku seorang Workzaholic.
Mungkin semangat kerja keras ku ini sudah turunan dan mendarah daging dari
Papa. Iyah, seperti kerja kerasnya membanting tulang sebagai guru SMP, dan membuka
Tailor kecil dirumah sebagai sampingan. Hanya untuk membiayai pendidikan aku
dan kedua adikku.
Kini
sudah tahun ke tujuh aku tetap loyal bekerja di perusahaan itu, kecintaan ku
terhadap perkerjaan yang mungkin di anggap Papa berlebihan, membuatku jarang
pulang menemui keluarga, hanya ketika hari besar raya saja dan itu sepertinya
di sayangkan Papa. Mau bagaimana lagi? aku bukan sekedar cinta tapi hanya ini
yang bisa kulakukan untuk membalas budi, dan bentuk baktiku terhadap mereka.
Semenjak Papa Pensiun, kini akulah yang membiayai sekolah kedua adikku yang
masih duduk di kelas 3 SMA dan 2 SMP. Mencari nafkah, senantiasa mengirimi
kebutuhan untuk Papa dan Mama juga.
“Terima
Kasih, kak. Uang sekolahku, dan Dafa sudah sampai.” Ucap adik perempuanku di
telpon.
“Ok,
Ann, langsung nanti kamu bayarkan, buat sekolahmu ya! ”
“Iya
Siap, kak ! Kak Evan gimana kabarnya? Kapan pulang? ”
“Kakak
sehat-sehat saja, pulang ? hemm kakak pikir tidak untuk waktu dekat ini, Ann. ”
“Ah,
Kakak mah sibuk mulu, masa cuma lebaran doang bisa pulang ke Bandungnya.” Ucap
Andita terdengar kecewa.
“Mau,
bagaimana lagi, pekerjaan kakak itu banyak, minggu ini juga kakak akan keluar
kota.” Kataku memberikan alasan.
“Yah,
selalu begitu alasannya, itu Papa udah kangen sama kakak.”
“Oh,
Iya, kabar Papa ? Kakak mau ngomong dong.”
“Baik,
tunggu bentar ka..” suara telpon menghilang sementara.
“Paah,
ini Kak Evan mau bicara sama Papa !” terdengar sedikit olehku, perkataan Andita
saat memberikan telpon pada Papa.
“Halo, Assalamualaikum...” terdengar suara berat khas pria paruh baya.
“Halo, Assalamualaikum...” terdengar suara berat khas pria paruh baya.
“Walikumsalam,
Pa ? ini Evan, gimana kabarnya ?” tanyaku santun.
“Alhamdulilah,
nak. Kamu gimana? Sehat Van ?” tanya Papa terdengar senang mendengar suara ku.
“Sehat-sehat
saja Pa, Papa lagi apa ?”
“Ini,
biasa, lagi jahit pakaian pesanan tetangga.”
“Papa,
masih ngejahit ? buat apa Pa? Apa masih kurang kiriman Evan, Pa ?” tanyaku
begitu heran, pada Papa yang usianya sudah cukup Tua, tapi masih saja gemar
menjahit.
“Cukup,
Alhamdulilah, bukan begitu juga Van, Papa hanya tidak biasa jika hanya diam, Menjahit
sudah hobi Papa.”
“Iya,
Pa. Jangan sampai jahit sampai malam terus ya, Pa ? Jaga kesehatan Pa.” Tegurku
pada Papa, teringat waktu aku Kuliah, Papa selalu saja menjahit banyak pesanan
hingga larut malam, mengejar upah untuk biaya kuliahku. Dan Mama, selalu
menemaninya dan membantunya.
“Eh,
Pa, gimana kabar Mama ?” tiba-tiba pikiranku terbesit untuk bertanya keadaan
Mama.
“Iya, Van. Mamamu sehat juga, dia lagi mandangin Papa, nih, nerima telpon dari kamu, Nak.”
“Iya, Van. Mamamu sehat juga, dia lagi mandangin Papa, nih, nerima telpon dari kamu, Nak.”
“Kalau
begitu, Evan pengen bicara sama Mama dong, Pa.”
“Yah,
Papa masih kangen dengar suara kamu, Nak.”
“Iya,
di Loudspeaker saja, Pa. Minta bantuan Andita.” Saranku pada Papa, pasti beliau
tidak tahu caranya.
“Papa,
ingin kamu pulang, Van. Papa ingin Photo keluarga, mumpung Dafa, Andita sudah besar.
selagi Papa, Mama masih ada.”
“Papa,
Mama akan sehat saja kok, jangan bicara sembarangan, nanti jika Evan pulang,
kita Photo Keluarga.”
“Iya,
Gatau nak, Papa ingin ruang tamu kita itu di hiasi Photo Keluarga kita.”
Dreeeddd
.... Dreedddd .... Handphone ku bergetar, tanda panggilan lain masuk. Saat aku
lihat ternyata dari Boss ku. Aku harus segera mengangkatnya mungkin ada hal
penting.
“Maaf, Pa. Boss Evan, nelpon. Lain kali Evan telpon lagi ya... ” aku langsung pamit memutuskan panggilan kepada Papa. Setelah menerima panggilan dari Bossku, ternyata tanggal proyek keluar kota itu dimajukan. Segera aku bersiap untuk pergi keluar Kota, yaitu ke Makassar esok hari.
“Maaf, Pa. Boss Evan, nelpon. Lain kali Evan telpon lagi ya... ” aku langsung pamit memutuskan panggilan kepada Papa. Setelah menerima panggilan dari Bossku, ternyata tanggal proyek keluar kota itu dimajukan. Segera aku bersiap untuk pergi keluar Kota, yaitu ke Makassar esok hari.
Hampir
tiga minggu, aku harus berada di Makassar. Menyelesaikan proyek pengembangan
jaringan internet dan telekomunikasi di suatu perusahaan disana. Aku paling
tidak suka jika pekerjaanku ini, mengalami gangguan atau hambatan. Handphone ku
selalu menerima SMS dari Andita, Adiku. Yang pesannya, “Papa ingin kita segera
Photo Keluarga.”
Pikirku,
hal seperti itukan bisa dilakukan nanti, cuma photo keluarga itu gampang
dilakukan lain kali. Tapi jika pekerjaanku ini tidak selesai, bisa gawat, dan
tidak bisa dilakukan nanti, karena target waktu selesainya begitu mepet.
“Kak, Papa mau, kakak pulang minggu ini, sempatkan sebentar saja, untuk Photo Keluarga kita.”
“Kak, Papa mau, kakak pulang minggu ini, sempatkan sebentar saja, untuk Photo Keluarga kita.”
Begitu
pesan, yang aku baca. Saat malam di hotel, aku mencoba membalas SMS tersebut
supaya, Andita tidak terus-menerus mengirimi SMS, yang cukup mengganggu itu.
“Ann, bisa tidak, jangan sms kaka
terus, kaka lagi di Makassar, iya. ntar deh, minggu depan kakak pulang.”
Selang
beberapa menit, tiba-tiba telpon masuk.
“Halo,
Bener Van, minggu ini kamu pulang ?”
“Iya,
Pa, Iya...”
“Papa,
ingin segera photo keluarga, nanti bakal Papa taruh di bingkai yang besar.”
“Duh,
Papa kayak anak kecil, iya Pah, nanti Evan pulang, jika pekerjaan Evan sudah
selesai.”
Setelah
perbincangan itu, entah kenapa Papa begitu ingin sekali Photo Keluarga, memang
sih, sejak dahulu kami belum sempat photo keluarga karena Dafa dan Andita saat
itu masih kecil, dan itu sudah menjadi idaman Papa sejak lama. Semenjak, Rumah
di Bandung direnovasi lebih baik, Papa semakin ngebet ingin menghiasi ruang
tamu itu dengan Photo Keluarga yang terbingkai di Ruang Tamu.
Setelah,
satu minggu, pekerjaan kami tidak kunjung selesai juga, karena ada masalah dan
hambatan akibat keteledoran rekan kerja ku, sehingga aku tidak bisa menepati
janji Papa, untuk pulang. Mungkin, aku harus mengabari mereka, akan terdengar
kecewa tapi apa boleh buat. Aku pasti tidak akan di izinkan pulang, karena
disiplin kerja perusahaan tempat kerjaku begitu ketat.
Baru
saja, aku memegang telpon hendak mau menelpon Papa, tiba-tiba ada panggilan
masuk dari adiku.
“Kak
! Kak Evan !”
“Iya,
kenapa ? nelpon itu ucap salam kek, bukannya teriak-teriak begitu.”
“Kak
! Papa masuk rumah sakit !”
“Hah
?! Serius ? ah, jangan main-main kamu, gak baik Ann kamu bercanda seperti ini
untuk membujuk kakak pulang.” Entah apa yang aku pikirkan, aku malah merasa
jika adiku melakukan keisengan konyol agar aku cepat pulang.
“Gila,
kamu kak ! mana mungkin Andita bercanda, Papa benar-benar lagi sakit.”
“Yang
benar? Sakit apa?” aku merasa ragu sekaligus terkejut.
“Jika
kakak, gak percaya ini, bicara sendiri sama Mama.”
“Berikan
telponnya pada Mama ! “ beberapa saat kemudian aku malah mendengar suara
tersedu-sedu “Ma? Kok nangis? Papa kenapa ? ”
“Papamu...
dilarikan ke rumah sakit, serangan jantung, karna kolesterolnya tinggi.”
“Apa
! Serangan Jantung? ” saat aku mendengar keterangan Mama dengan suara terisak,
aku bengong seketika. Tidak ada lagi yang ingin aku pikirkan selain, harus
pulang saat itu juga.
“Yang
sabar Ma, Evan, bakal pulang pagi ini juga.” Aku langsung membuka Laptop untuk
segera reservasi online tiket pesawat yang bisa terbang besok pagi dari
Makassar ke Bandung.
Siang
itu akhirnya aku sampai di Bandung, meskipun aku harus mendapatkan SP 1 karena
meninggalkan pekerjaan ku, aku tidak peduli. Yang aku mau, aku ingin melihat
keadaan Papa, hatiku masih berat karena masih ada satu pinta Papa yang belum
aku penuhi.
Di
Rumah Sakit Hasan Sadikin, saat aku masuk keruangan tempat Papa dirawat, kulihat
Mama, duduk sambil dirangkul Andita menguatkannya, kemudian Dafa, adiku
menengok ke arahku.
“Kak,
Evan !” kata Dafa, saat melihatku di depan pintu. Mama menengok kemudian
memelukku. Mama kemudian, mencerikan kejadian malam itu, saat Tiba-tiba dada
Papa sakit dan sesak nafas hingga tidak sadarkan diri.
Aku
mencoba menenangkan Mama, kami berkumpul di ruang inap Papa, menemaninya,
menunggu matanya terbuka, bangun koma. Disamping Papa aku mencoba berkomunikasi
dengannya, yang kutahu orang dalam keadaan koma itu sebenarnya bisa mendengar
apapun disekelilingnya.
“Pa,
ini Evan Pa, aku sudah pulang, sekarang ada disini, Pa. Papa cepat bangun, Pa.”
Aku berbicara disamping tempat tidurnya sambil memegang tangannya.
“Maafkan
aku Pa, karena jarang sekali kita bertemu, aku sangat menyesal Evan bisa
bertemu, Papa dalam keadaan sepeerti ini.” Aku hanya tertunduk menyesal. Aku
terus berbicara dengan Papa agar matanya bisa terbuka, aku sangat iba melihat
keadaan Papa, dengan berbagai alat yang menempel pada badannya.
“Pa,
ada satu hal yang ingin Evan, katakan, nih, loh Pa, Evan sudah menemukan wanita
yang ingin Evan persunting, ini Photonya Pa.” Meskipun Papa tidak melihat, aku
berikan Poto seorang wanita yang menjadi kekasihku selama ini, dia adalah
Partner kerja ku. aku berikan pada tangan Papa, agar dia bisa memegangnya.
Sekali lagi, tidak ada respon dari Papa sedikit pun. Kami hanya menunggu dengan
keadaan cemas, sedih, dan mulut terus mengucapkan doa.
Beberapa
jam kemudian, saat aku tertidur disamping Papa. Aku merasakan gerakan pada
jari-jemari Papa.
“Van,
Evaan..” terdengar suara yang begitu pelan dari Papa. Saat aku bangun, aku
melihat Papa sudah membuka mata dan melihat kearahku.
“Pa
! Papa sudah siuman, ... Ma, !! Papa sudah bangun Ma !!” aku membangunkan Mama,
yang ikut tertidur di kursi dalam ruang inap Papa itu. aku begitu senang
melihat mata Papa terbuka, dengan senyum sedikit di wajahnya. Dalam keadaan
seperti itu, Papa masih bisa tersenyum menghibur kami.
“Akhirnya
kamu pulang, nak ...” kata Papa sambil mengusap kepalaku. “Jadi ini, yang akan
menjadi calon menantu Papa?” Papa melihat sebuah poto yang kuberikan padanya.
Aku begitu terharu karena bahagia melihat Papa, bisa terbangun dan nampak
senang.
“Maafkan aku Pa, Evan baru bisa bertemu Papa,
dalam keadaan seperti ini, Evan menyesal Pa.” Aku tertunduk karena malu.
“Dengan
Papa bisa melihat putra sulungku ini saja Papa sudah senang, maafkan Papa juga
ya, jika selama ini Papa banyak salah.”
Kemudian,
dokter dan suster datang memeriksa keadaan Papa. Dokter mengatakan keadaan Papa
sudah stabil, hanya saja jantungnya masih lemah setelah melakukan Operasi. Papa
harus beristirahat kembali.
“Papa,
tidur lagi yaa...” ucap Papa pelan.
“Iya,
Pa, Istirahatlah.” Aku biarkan Papa berintirahat
Setelah
beberapa jam Papa tertidur, sekitar pukul
1 malam, aku dikejutkan dengan suara yang panjang dari sebuah alat yang
entah apa, alat yang menunjukan gambar gelombang detak jantung. Kini terdengar biiipp
begitu panjang dan lama, saat aku lihat pada monitor alat itu hanya menunjukan
satu garis lurus yang panjang. “Apa yang terjadi ? Apakah Papa?” aku pegang
tangannya begitu dingin, dan wajahnya pucat. Aku, Mama, dan Adik-adiku begitu
panik, entah apa yang terjadi pada Papa. Setelah, Dokter datang dan memeriksa
keadaannya, kami diminta menunggu diluar, dari balik kaca pintu aku hanya
melihat Papa terguncang-guncang, karena dadanya terus di hantam oleh alat
pemicu jantung, untuk mengembalikan detang jatungnya.
Tapi,
Tuhan berkehendak lain, detak jantungnya sudah diambilNya, Papa sekarang
tertidur selamanya. Kami telah kehilangannya.
Itulah,
kisah yang aku ingat, 40 hari setelah Papa meninggal. Yang selalu aku ingat
setiap aku melihat Sebingkai Photo Keluarga yang terpampang di Ruang Tamu kami.
Hanya ini satu pinta Papa yang belum aku penuhi, Photo Keluarga. Sepele
sebenarnya, saat aku mencoba berbakti dengan memberikan semua kebutuhan Papa
dan keluarga, tapi mengapa aku tidak bisa menyempatkan hanya untuk “Sebingkai
Dengan Papa”. Aku begitu menyesal, menyesal sangat mendalam. Aku mengerti
sekarang mengapa Papa begitu ingin berphoto keluarga, bukan sekedar menghiasi
ruangan ini, seperti yang kupikirkan saat itu. Dari Potret ini aku bisa melihat
sebuah Kebersamaan dan Kebahagiaan dalam satu bingkai. Ini mungkin yang Papa
inginkan dengan selalu melihat Photo ini
Papa bisa merasakan kebersamaan yang langka, disaat-saat terakhirnya. Papa
tahu aku jarang pulang, sibuk bekerja, hanya satu kesempatan yang belum sempat
aku penuhi yang diinginkanya. Air mataku terus menetes setiap mengingat
penyesalan demi penyesalan. Meskipun Photo Keluarga ini, hanya editan dimana
Photo Papa di Tempelkan disana. Aku, Mama, dan kedua adiku memakai Pakaian yang
sama yang dijahit khusus oleh Papa.
“
Maaf Pa, inikan yang Papa mau? Sebingkai denganku...”
“
Sudahlah, nak. Jangan terlalu disesali, ini sudah takdir Tuhan.” Mama, datang
menghampiriku sambil mengecup rambut kepalaku.
Sekarang
aku, tidak akan menyesal untuk kedua kalinya. Mama, apapun akan kulakukan untuk
berbakti kepadamu, Pintu Surgaku.
Untuk, berbakti kepada orang tua,
bukan sekedar mencukupi kebutuhannya, tapi bahagiakan karena kehadiran dan
kebersamaan kita dengan mereka. Orang tua selalu ingin kebahagiaan kecil yang
ingin mereka ulang, yang tak pernah ternilai oleh uang.
0 komentar:
Posting Komentar
"aku sangat senang bila anda dapat meninggalkan komentar disini"